Categories
CORETAN CENDEKIA GAMA CENDEKIA KREASI CENDEKIA

HEHE AJA (Hematkan Energi dengan Hentakkan Edukasi Anti Jorok dan Awur: Sosialisasi Konservasi Listrik secara Behavioral)

Oleh Muhammad Hafizh Rashin

WhatsApp Image 2020-12-12 at 20.00.05

Choose your self-presentation carefully, for what
starts out as a mask may become your face.
(Erving Goffman)

URGENSI ISU PEMBOROSAN DALAM KONSUMSI LISTRIK

Listrik secara umum memiliki definisi dasar sebagai energi yang berasal dari muatan listrik yang menyebabkan medan listrik statis atau gerakan elektron dalam komduktor atau ion dalam zat cair atau gas. Pengertian energi listrik sering didefinisikan sebagai perkalian antara daya dengan waktu. Daya adalah perkalian antara tegangan dengan arus listrik sehingga di dalam mencari rumusan energi, besaran-besaran yang dilibatkan adalah tegangan, arus listrik, dan waktu.Energi ini muncul karena adanya perbedaan muatan antara dua buah titik penghantar. Energi listrik dihasilkan oleh pembangkit tenaga listrik. Energi ini mampu diperoleh dari perubahan berbagai sumber energi seperti air, angin, panas, cahaya, dan bahan bakar fosil (kimiawi).

Energi listrik saat ini mempunyai peranan vital dan strategis, untuk menunjang pembangunan nasional (Kementrian ESDM, 2019), sehingga segala bentuk pengolahannya harus dilakukan secara andal, aman, dan ramah lingkungan (Kementrian ESDM, 2019). Namun, fakta di lapangan menunjukkan terdapat berbagai permasalahan dalam pengelolaan sistem ketenagalistrikan nasional. Permasalahan itu diantaranya adalah biaya pokok produksi listrik yang lebih tinggi dari pada harga jual listrik, ketidakpastian pasokan sumber energi primer, terutama pasokan gas alam, masih adanya pembangkit berbahan bakar BBM sebagai sumber energi primer, serta kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari banyak pulau menyulitkan proses transmisi dan distribusi energi listrik.

Sebagai gambaran, Indonesia merupakan Negara Kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau besar dan kecil dengan garis pantai sepanjang 810.000 km dan luas 3.1 juta km2. Dengan jumlah desa lebih dari 65.000 yang tersebar luas dibelasan ribu pulau di tersebut, hanya kurang dari setengahnya yang telah menikmati jaringan listrik secara nasional. Mayoritas masyarakat dari daerah-daerah terpencil menggunakan lampu minyak tanah/patromak untuk penerangan. Untuk memperoleh informasi dari radio mereka menggunakan batu baterai, sedangkan untuk televisi adakalanya mereka menggunakan accu/aki yang diisi ulang di daerah yang memiliki generator.

Hal di atas menunjukkan bahwa saat ini penyediaan dan pengelolaan energi listrik dalam negeri belum merata akibat adanya berbagai faktor permasalahan yang timbul akibat berbagai hal, dan yang utama adalah akibat dari perilaku masyarakat selaku pengguna listrik itu sendiri yang konsumtif. Perilaku konsumtif yang berlebihan menimbulkan pemborosan yang berdampak pada terbuangnya energi listrik dalam skala besar.

Pemborosan listrik terjadi akibat penggunaan peralatan listrik yang tak efisien. Contoh pemborosan listrik yang sering terjadi adalah lampu yang tidak dimatikan meskipun sudah tak dipakai. Meskipun memiliki tegangan yang relatif kecil dibandingkan peralatan listrik lainnya, jumlah lampu dalam suatu ruangan relatif cukup banyak (lebih dari satu), sehingga cukup banyak memakan energi listrik. Saat ruangan kosong, terkadang lampu lupa dimatikan oleh orang yang terakhir menggunakan ruangan tersebut.

SISI ANTROPOSENTRIS DALAM EKSISTENSI ENERGI

Manusia sebagai bagian dari masyarakat (‘society’) merupakan salah satu aktor utama dalam kelangsungan dinamika kehidupan di planet bumi. Kedudukan sekaligus peranan manusia bahkan bisa dinilai sebagai pihak yang jauh lebih dominan dibandingkan hampir atau seluruh makhluk yang ada secara empiris. Hal ini menyiratkan pesan penting berupa adanya peluang tak terbatas bagi manusia untuk terus mengukuhkan dominasinya di planet bumi dengan melakukan serta memanfaatkan segala modal yang dimilikinya.

Penguasaan sumber daya bumi secara menyeluruh membuat eksistensi energi tidak bisa dilepaskan dari peranan dan tindakan yang dilakukan oleh manusia dalam berbagai skala (mikro maupun makro). Kegiatan harian manusia secara individual saja memiliki interaksi langsung yang sangat kuat dengan beragam jenis energi, baik itu aktivitas mendasar seperti makan (olahan hayati & nabati), mandi (air dan produk tanaman), hingga aktivitas kompleks dengan era digital seperti perkuliahan online yang sedang berlangsung di masa pandemi tahun 2020 (listrik, tanah, air, dan lain sebagainya). Fenomena-fenomena sosial yang berskala makro pun tentu juga bersinggungan dengan energi karena struktur sosial dan ruang-ruang publik dapat terbangun melalui kumpulan interaksi-interaksi mikro dari satu individu ke individu lainnya.

Resiprokalitas antara fenomena sosial secara makrososiologis dan mikrososiologis menciptakan adanya perubahan sosial. Salah satu bukti nyata dari perubahan sosial tersebut ialah fenomena tren profesi manusia dari titik nomaden hingga industri serta perkembangan industri itu sendiri (dari 1.0 hingga 4.0, serta sedang dalam tahapan menuju titik terbaru yaitu 5.0). Perubahan sosial secara sosiologis sangat berkaitan dengan keberlangsungan energi, sehingga adanya dinamika pergeseran konteks ruang dan waktu yang diciptakan oleh manusia harus juga diperhatikan oleh manusia itu sendiri dalam kaitannya dengan upaya konservasi energi.

Pandangan serta tindakan kritis sangat diperlukan dalam merespon sekaligus menambal celah-celah negatif dari perubahan sosial terhadap eksistensi energi. Gagasan ini sangat kentara disuarakan oleh Ulrich Beck dalam buku fenomenalnya yang sangat multidimensional serta aplikatif secara meluas, yaitu “Risk Society”. Modernisasi sebagai upaya adaptasi hidup berupa pembaharuan segala macam bentuk gaya hidup dari dan oleh manusia harus dilihat secara lebih terbuka. Manusia tidak bisa selalu memandang tren modernisme sebagai satu-satunya solusi adaptasi hidup yang mutlak, sebab setiap tindakan manusia sejatinya memiliki dua sisi berupa keuntungan dan risiko yang harus disikapi dengan bijak. Beck menilai beautifikasi keuntungan yang berlebih terhadap modernisme dan segala macam bentuk produknya akan riskan menjerumuskan manusia ke dalam risiko-risiko yang jauh lebih besar dari risiko awal yang seharusnya bisa segera ditanggapi dengan baik.

Salah satu produk modernisme yang menciptakan dua sisi pedang terhadap nasib keberlangsungan energi sekaligus kehidupan manusia adalah ketergantungan besar terhadap energi listrik. Penciptaan teknologi mutakhir berbasis sumber daya listrik terus dilakukan secara masif, sedangkan produksi dari energi listrik itu sendiri malah kalah cepat digiatkan. Tren ini terjadi secara global, dengan kata lain juga banyak kasusnya di Indonesia. Dependensi manusia secara lokal maupun global terhadap listrik terus menerus dilazimkan tanpa adanya sosialisasi berupa risiko-risiko terkait secara sebanding.

Tren konsumsi listrik secara massal dan masif di atas secara reflektif menegaskan ‘statement’ awal yang tertera dari subbab ini, yaitu eksistensi segala macam bentuk energi (terutama listrik) benar-benar didominasi oleh manusia beserta kepentingan-kepentingannya. Siklus proses produksi, konsumsi, dan distribusi energi di bumi dari waktu ke waktu terus menunjukkan bahwa keberadaan energi makin dipegang secara sepihak oleh manusia daripada makhluk-makhluk empiris lain yang ada di planet bumi (tumbuhan dan hewan). Hubungan berupa eksploitatif pun menjadi sebuah risiko yang tak bisa dihindarkan dalam upaya kritis penyelamatan energi guna menjaga kelangsungan hidup manusia sekaligus keberadaan bumi.

 

AKIBAT “GA ADA AKHLAQ”: PERAN DOMINAN PERILAKU

Penulis tidak menyangkal kekuatan perspektif makrososiologis dalam memandang fenomena interaksi manusia dengan energi (terbukti dengan relevansi teori-teori makro seperti gagasan Ulrich Beck di atas yang masih diakui secara teoritis maupun praktis), namun ingin berusaha mengangkat sisi mikrososiologis dalam isu konservasi energi dalam ‘paper’ ini. Konservasi energi dapat serta sudah dilakukan melalui berbagai strategi dan salah satu yang hendak penulis garis bawahi adalah perilaku konsumsi listrik dalam tataran mikro (individual atau perorangan). Konsumsi listrik merupakan sebuah fenomena sosial yang sangat relevan dilihat dari dua konteks utamanya, yaitu pesatnya perubahan hidup manusia menuju digital-sentris dan dominasi listrik dalam seluruh aspek kehidupan (termasuk pengolahan energi selain listrik).

Sosialisasi seputar konsumsi listrik secara bijak dan hemat membutuhkan adanya perlibatan tindakan-tindakan mikro guna mensukseskan agenda-agenda makro terkait yang hendak ataupun telah dilangsungkan. Tindakan-tindakan mikro tersebut sejatinya merupakan ‘tumpukan batu bata’ yang mampu mengokohkan fondasi dari suatu tindakan makrososial. Porsi yang sedemikian fundamental tersebut disebakan oleh adanya syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam upaya penyebaran nilai kepada suatu masyarakat, yaitu rekognisi sosial.

Rekognisi sosial dalam kaitannya dengan sosialisasi perilaku konsumsi listrik adalah masyarakat awam akan menjadikan setiap pihak yang terlibat dalam upaya edukasi tersebut sebagai cerminan atau referensi perilakunya. Segala tindakan baik ataupun buruk yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait (pemerintah ataupun pihak swasta berupa NGO) akan menjadi dasar masyarakat awam atau target edukasi dalam membenarkan segala perilakunya perihal konsumsi listrik. Pembenaran ini akan menguat bilamana pihak pengedukasi melakukan sosialisasi secara searah semata. Ketiadaan diskusi menciptakan dua hal buruk secara bersamaan, yaitu kekolotan masyarakat awam (terutama yang berekonomi menengah ke bawah) dalam mempertahankan gaya hidup konsumsi listriknya yang sebenarnya kurang tepat dan kebutaan para ‘stakeholder’ terhadap realita lapangan sekaligus riskan tidak akurat dalam menentukan kebijakan.

Salah satu teori mikrososiologis yang menarik bagi penulis dalam mengamati problematika rekognisi sosial tersebut adalah teori dramaturgi. Teori dramaturgi sendiri merupakan sebuah konsepsi mengenai fleksibilitas perilaku manusia terhadap ruang eksistensinya yang digagas oleh Erfing Goffman. Goffman secara umum mengamati adanya kecenderungan manusia untuk bersandiwara atau berpura-pura dalam melakukan suatu kegiatan. Faktor utama yang mendorong manusia untuk melakukan ‘kebohongan’ tersebut adalah konteks status dan ruang sosial yang dimilikinya.

Perspektif dramaturgi milik Goffman menampilkan sebuah temuan menarik terkait bagi penulis, yaitu adanya inkonsistensi fatal yang dilakukan oleh para pegiat sosialisasi hemat energi. Inkonsistensi tersebut adalah kecenderungan mereka untuk mencitrakan diri sebagai sosok yang peduli dengan konservasi energi hanya dalam momen kampanye penghematan energi tersebut. Para pegiat sosialisasi tersebut terlalu mencurahkan fokus pada kulit luar berupa kampanye-kampanye langsung tanpa melakukan evaluasi reflektif berupa kegiatan harian individual mereka yang sebenarnya juga tak kalah boros dengan masyarakat awam yang diedukasikannya. Keluputan untuk berefleksi tersebut mendorong masyarakat untuk lebih memilih bertahan pada posisi ‘nyaman’ dengan melakukan pembenaran di atas daripada memilih ‘legowo’ dan membuka ruang diskusi yang notabene akan mengorbankan lebih banyak hal serta tidak menjamin kesuksesan tertentu.

DUA TREN KONSUMSI LISTRIK YANG BURUK DI INDONESIA

Jorok dan awur merupakan dua kata baku Bahasa Indonesia sekaligus menjadi ‘highlight’ utama yang penulis tampilkan berkaitan dengan tema konsumsi energi berupa listrik di Indonesia. Keduanya merupakan sifat yang secara meluas terjadi dalam kegiatan konsumsi listrik harian masyarakat Indonesia. Penulis pun secara reflektif tidak memungkiri adanya kemungkinan bahwa kehidupan harian penulis tidak lepas dari kebiasaan atau perilaku konsumsi listrik yang cenderung jorok dan awur. Tren negatif atas konsumsi listrik tersebut lebih dominan terjadi pada masyarakat urban (perkotaan).

Jorok dalam kaitannya dengan konsumsi listrik adalah perilaku penggunaan listrik secara boros dan meninggalkan jejak-jejak residu. Jejak residu tersebut dapat berupa energi listrik yang terbuang secara percuma maupun penggunaan fasilitas-fasilitas kelistrikan material yang destruktif (kurang berhati-hati atau tidak inisiatif merawat). Salah satu contohnya adalah penggunaan stop kontak secara sembarangan. Banyak masyarakat Indonesia yang ceroboh dalam menggunakan stop kontak, sehingga menimbulkan setidaknya dua kerugian secara bersamaan. Kedua kerugian tersebut adalah terbuangnya listrik akibat lupa mematikan atau mencabut kabel setelah benda elektronik selesai digunakan dan penurunan keawetan fasilitas kelistrikan yang berdampak pada meningkatnya laju sampah elektronik secara makro.

Awur dalam kaitannya dengan konsumsi listrik adalah kebiasaan masyarakat Indonesia untuk menggunakan listrik secara serampangan. Penggunaan listrik secara awur biasa dilakukan dengan menggunakan pola pikir jangka pendek, yakni hanya berfokus pada kenyamanan atau kemudahan yang bisa didapat saat ini dan berdasar pada konstruksi atas nilai nyaman di saat itu juga. Contoh nyata dari kengawuran pada konteks tersebut adalah pembelian serta pemasangan lampu secara cepat tanpa melihat terlebih dahulu adanya peluang penghematan, baik dari segi daya konsumsi listrik oleh lampu itu maupun pengaturan jadwal hidup harian personal yang mungkin saja bisa meminimalisir penggunaan lampu.

KETELADANAN SEBAGAI LANGKAH EDUKASI HEMAT LISTRIK

Keteladanan merupakan ‘pekerjaan rumah’ yang besar bagi masyarakat secara umum dan kalangan pengedukasi perilaku hemat listrik secara spesifik. Para pengedukasi tersebut harus menjadi cerminan bagi masyarakat awam guna mendapat rekognisi sosial audiens, sehingga pesan penghematan yang disampaikannya dapat menuai respon positif sesuai keinginan. Dua upaya keteladanan yang dapat diilakukan adalah dengan berangkat melakukan penghematan listrik dari skala individual secara menyeluruh dan membuka ruang diskusi serta penawaran bantuan kepada audiens tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2019). Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional 2019-2038.

Leave a Reply

Your email address will not be published.