Sebuah ironi datang dari pinggiran kota di salah satu kabupaten di Yogyakarta. Ketika di muara sungai bernama Kali Belik berdiri Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang menyuplai air bersih untuk kebutuhan hampir setengah juta kepala warga Kota Yogyakarta, namun di kali itu pula berjejer ratusan peralon pembuang limbah rumah tangga. Sungai yang muaranya terletak di Desa Karangwuni, Kabupaten Sleman tersebut menurut penduduk setempat dulu merupakan sungai yang bersih dan lebar kurang lebih 3 meter. Namun, kemudian berubah menjadi kotor dan kini hanya selebar kurang dari 1,5 meter. Letaknya yang berada di sekitar kampus kerakyatan UGM ternyata belum mampu melindungi nasib baik sungai ini dari potret kelam modernisasi zaman. Ia seolah hanya menjadi saksi ketika ribuan generasi mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu lulus menjadi sarjana dari kampus kerakyatan. Sementara roda pergiliran sarjana itu berputar, nasib kali itu tidak kunjung membaik bahkan makin memburuk.
Melihat ironi tersebut, muncul kepedulian yang kemudian diaktualisasikan dalam bentuk Program Pemberdayaan Masyarakat (PPM) yang dieksekusi oleh mahasiswa KKN UGM. Esensi program PPM-KKN tersebut adalah mendorong pemberdayaan masyarakat Desa Karangwuni dan Karanggayam untuk merespon permasalahan internal desa, salah satu programnya adalah revitalisasi aliran sungai Kali Belik yang melewati kedua desa tersebut. Program jangka pendek revitalisasi sungai Kali Belik berhasil dilaksanakan tanggal 4 September lalu dalam bentuk kerja bakti yang diikuti banyak elemen yang salah satunya melibatkan Gama Cendikia. Sebagai UKM penelitian interdisipliner Gama Cendikia UGM ditantang untuk peka terhadap masalah dan kemudian menemukan solusi atas permasalahan yang ada di lapangan.
Dari hasil observasi lapangan, Gama Cendikia menyoroti bahwa permasalahan utama memburuknya keadaan sungai Kali Belik adalah karena ketidak pekaan warga masayarakat yang mendiami bantaran sungai, baik warga lokal maupun mahasiswa yang tinggal sementara. Ketidak pekaan tersebut membuat masyarakat enggan memberikan respon positif dalam bentuk aksi nyata untuk melindungi dan menjaga keberadaan sungai Kali Belik. Untuk mengatasi ketidak pekaan tersebut kami mencoba memberikan solusi sederhana, yaitu dengan mengintervensi kelima tahap The Bystander Effect.
The bystander effect dalam ilmu psikologi menjelaskan bahwa setidaknya ada lima tahapan yang harus dilalui orang untuk memberikan respon pertolongan dalam keadaan darurat. Pertama, orang memperhatikan adanya situasi. Dalam konteks ini maka situasi yang mucul adalah permasalahan lingkungan Kali Belik, artinya respon tidak akan diberikan jika warga di sekitar Kali Belik tidak menyadari situasi yang ada sekarang ini. Kedua, situasi tadi diinterpretasikan sebagai keadaan darurat. Meskipun orang memperhatikan adanya situasi atau permasalahan, respon tetap tidak akan diberikan jika orang tersebut tidak menginterpretasikan dengan tepat bahwa situasi yang dihadapi adalah situasi darurat. Jika ada ambiguitas tentang situasi yang terjadi, sebelum memberikan respon orang-orang cenderung akan mundur dan menunggu datangnya informasi lebih lanjut. Jika informasi yang masuk bersifat campur aduk –sebagian menunjukan bahwa segala sesuatu berjalan baik dan yang lain menunjukan adanya masalah serius- maka orang cenderung menerima informasi yang menunjukan keadaan baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dilakukan (Wilson dan Petruska, 1984).
Ketiga, merasa bertanggung jawab untuk bertindak. Jika tanggung jawab kurang jelas diamanatkan kepada siapa, orang cenderung mengasumsikan situasi –dalam hal ini situasi Kali Belik- sebagai tanggung jawab pemimpin desa atau pemerintah (Baumeister dkk, 1988). Keempat, di akhir pengambilan keputusan untuk merespon atau tidak orang akan terlebih dulu mempertimbangkan apakah ia tahu tentang bagaimana cara merespon situasi tersebut atau tidak. Jika orang tidak memiliki kapasitas atau kemampuan untuk merespon, orang cenderung untuk berpikir ulang bahkan membatalkan keputusannya untuk merespon. Sebaliknya, jika orang memiliki pengetahuan, pengalaman, atau kecakapan yang dibutuhkan, maka ia cenderung merasa bertanggung jawab dan akan memberikan respon tanpa menunggu komando lain. Tahap terakhir adalah pengambilan keputusan untuk bertindak atau tidak.
Mengintervensi kelima tahapan di atas bisa jadi dapat menjadi solusi efektif untuk mengatasi permasalahan lingkungan di sekitar Kali Belik. Di tahap pertama misalnya, agar orang memperhatikan situasi yang ada di sekitar Kali Belik, maka yang dapat dilakukan adalah memberikan pemberitaan atau informasi yang intens mengenai situasi yang ada, bisa melalui media atau penyuluhan oleh lembaga formal atau nonformal. Kedua, sekedar informasi saja tidak cukup, maka harus ada urgensi yang ditonjolkan agar orang menyadari dan menginterpretasikan informasi tersebut sebagai situasi darurat. Dalam tahapan ini mutlak dibutuhkan multi disiplin ilmu yang mampu meriset keadaan obyektif tentang permasalahan jangka pendek dan panjang mungkin ditimbulkan jika situasi tersebut terus dibiarkan, misalnya di bidang lingkungan dan kesehatan. Harapan dari munculnya informasi tersebut, orang akan tersadarkan untuk mempertimbangkan dampak langsung bagi ia (secara umum) maupun kelompok sosialnya yang kemudian merespon untuk mengindari dampak merugikan tersebut.
Ketiga, menyadarkan bahwa situasi yang timbul sekarang ini merupakan tanggung jawab bersama. Permasalahan lain yang kemudian mucul di lokasi adalah bahwa ternyata mayoritas penghuni sekitar Kali Belik merupakan orang-orang urban seperti mahasiswa yang sedang melanjutkan studi di UGM dan UNY. Seperti yang sebelumnya telah dibahas, orang dalam jumlah lebih banyak kurang cenderung mengambil tindakan karena adanya difusi tanggung jawab (Baron dan Byrne, 1998). Dan fakta bahwa sebagian besar orang yang tinggal dibantaran Kali Belik merupakan mahasiswa luar daerah membuat difusi tanggung jawab tersebut menjadi semakin tidak jelas. Mereka (mahasiswa) menganggap bahwa situasi yang terjadi sekarang merupakan tanggung jawab penduduk lokal. Akibatnya tidak ada respon yang diberikan karena tidak adanya rasa memiliki dan bertanggung jawab untuk memelihara. Kecuali diantara mereka –untuk alasan apa pun- ada yang secara pribadi merasa bertanggung jawab untuk memberikan respon.
Keempat, minimnya kemampuan, pengetahuan, dan informasi menjadi pertimbangan akhir orang untuk memberikan respon. Sering kali sekelompok orang yang telah memahami situasi dan merasa bertanggung jawab hanya memberikan respon sampai pada tataran nonteknis. Analoginya, jika Anda tidak dapat berenang, maka Anda tidak mungkin memberikan bantuan kepada seseorang yang tenggelam. Pada konteks ini Anda akan lebih memilih untuk mudur dari teknis dan mengandalkan orang lain di sekitar untuk menolong ia. Maka intervensi yang tepat untuk tahap keempat ini adalah dengan memberikan pengetahuan, fasilitas, kemampuan atau kecakapan bidang perawatan dan pelestarian lingkungan Kali Belik. Dengan kita memberikan hal tersebut, orang akan cenderung merasa bertanggung jawab dan memberikan bantuannya dengan atau tanpa kehadiran pihak lain. Sebagai contoh, jika ada dua orang di dalam sebuah kecelakaan, perawat berizin akan lebih menawarkan bantuannya ketimbang yang bukan perawat. Tetapi, jika hanya ada satu orang, maka baik perawat maupun bukan akan sama-sama mengulurkan bantuannya (Cramer dkk, 1988).
Tahap kelima, pada tahap yang terakhir ini tidak ada intervensi yang harus dilakukan, kita hanya dapat berharap orang-orang yang telah melewati keempat titik pemilihan sebelumnya dapat memberikan respon yang sesuai, yaitu memiliki motivasi untuk merespon secara positif permasalahan Kali Belik. Meskipun realisasi pada tiap tahap memakan waktu banyak, tetapi jika dilaksanakan secara berkelanjutan diharapkan intervensi tersebut dapat menjadi solusi efektif revitalisasi sungai Kali Belik yang lestari, bersih, dan sehat. (Rizki Prasetyawan)