Categories
CORETAN CENDEKIA

Kali Belik, Wajah Mikro dari Ekosistem yang “terpunahkan”

Posisi keseimbangan ekosistem  memiliki peranan yang sangat vital. Ekosistem  yang rapuh dapat berpotensi  kurangnya daya dukung terhadap keberlanjutan kehidupan makhluk hidup di alam. Ketika kemampuan daya dukung alam melemah bahkan hilang, maka ancaman yang serius pasti menimpa organisme yang mendiami ekosistem tersebut. Akibatnya timbul pengaruh negatif yang sistemik dan berefek jangka panjang. Fenomena seperti itu terlihat di kali belik yang melintasi karanggayam, karangwuni, dan karangbendo di desa catturtunggal sampai UNY dan UGM.

Sekitar tahun 80-90’an kali belik memiliki biodiversitas yang normal. beranekaragam ikan dan biota sungai lain dapat beradaptasi di lingkungan perairan kali belik. Hal itu beralasan karena substrat tempat berkembangbiak dan bertahan hidup masih mendukung. Ketika itu air masih jernih sehingga dapat juga digunakan warga sekitar untuk keperluan sumber air dan rumah tangga lainnya. Namun, karena berbagai faktor seperti pembangunan PDAM  (Perusahaan Daerah Air Minum) dan pembangunan wilayah kost mahasiswa serta pemukiman warga pendatang mengubah keadaan perairan kali belik menjadi tidak sehat.

PDAM yang memotong aliran di kali belik menyebabkan kuantitas air menurun, sehingga secara langsung menganggu habitat dari biota sungai. Terlebih, kaporit yang digunakan untuk pengelolaan air di PDAM mengakibatkan sebagian besar ikan yang tidak resisten menjadi mati. Selain itu, faktor pertumbuhan pemukiman penduduk baik untuk kaum pendatang maupun mahasiswa di sekitar aliran kali  memperburuk keadaan karena aktifitas pembuangan limbah, baik limbah cucian maupun sampah padat cenderung di buang di kali. Perilaku yang kurang baik dari masyarakat itu dan kesadaran yang kurang juga menjadi faktor yang tak bisa diabaikan. Disamping punahnya biota sungai,  akibat dari pola pemeliharaan lingkungan yang tidak berbasis “sustanaibility” menyebabkan pendangkalan kali dan banjir merupakan konsumsi masyarakat  ketika hujan deras.

Namun, ada fenomena yang menarik di bagian hulu sungai yang terletak di dukuh karangbendo. Spesies ikan “cetho” mampu “survive” di tengah lingkungan yang buruk secara ekologis bagi biota lain. Ikan cetho mampu hidup dan berkembakbiak karena memiliki daya toleransi terhadap limbah yang memenuhi kali, terlebih limbah kaporit yang berefek panas pada tubuh dan menyebabkan kematian biota. Dari fakta tersebut perlu penelitian lebih lanjut mengenai ikan cetho yang  dapat dijadikan indicator tingkat ketahanan dan pencemaran di badan perairan.

Masalah yang dihadapi oleh kali belik yang telah mencapai titik kulminasi kerusakan dan perlu ada solusi yang efektif. Adanya kerjasama antara masyarakat, birokrasi Pemda,  kelurahan, RT dan RW serta PDAM diharapkan untuk menyelesaikan persoalan. Komunikasi antar pihak-pihak terkait perlu dijalin karena kenyataan di daerah sekitar PDAM yang masuk perbatasan karanggayam dan karangwuni sangat memprihatinkan. Pihak RT ternyata kurang peka terhadap permasalahan kali belik yang berefek pada masyarakatnya. Kerja bakti sebagai upaya untuk mengatasi pencemaran jarang dilakukan dan dapat dikatakan tidak pernah sama sekali. Tetapi, di titik lain yang dialiri kali belik birokrasi RT sudah mampu bertindak lebih.

Di spot sekitar PDAM, tanggul yang dibangun tidak mampu untuk menampung debit air yang meluap ketika hujan deras sehingga banjir mengenangi rumah penduduk hingga mencapai 1 meter. Tanggul yang dibangun juga merupakan hasil perjuangan penduduk di jalur birokrasi wakil rakyat di senayan. Tampaknya memang dari pihak PDAM pun kurang responsive dalam menanggapi aspirasi penduduk yang lingkungannya tercemar. Sebagai lembaga yang dibawah naungan pemerintah, PDAM seharusnya memperhatikan  keberlanjutan lingkungan di daerah sekitarnya. Tak hanya PDAM, pihak perguruan tinggi seperti UGM maupun UNY sebenarnya harus ikut turun tangan dalam memecahkan masalah lingkungan warga sekitar kampus. Dari data yang diperoleh, baru dua kali dilakukan KKN (kuliah Kerja Nyata) yang telah dilakukan UGM di wilayah karanggayam, karangbendo, karangwuni yang dilewati aliran kalibelik. Temuan itu menjadi catatan penting, bahwa pihak perguruan tinggi belum sepenuhnya menghargai lingkungan di sekitar tempat kampus berdiri dan cenderung focus ke daerah yang jauh dari area kampus. Dan yang lebih ironis jika mahasiswa yang bermukim di kost yang dekat bantaran kali, membuang limbah ke badan kali.

Sejujurnya, perlu adanya pendidikan mengenai kesadaran berfikir untuk menjaga ekosistem yang di abad ini mengalami degradasi yang signifikan. Diharapkan pendidikan tersebut mampu melembagakan kesadaran lingkungan sebagai budaya masyarakat. Oleh karena itu pihak universitas diharapkan mampu sebagai ujung tombak dalam mengubah paradigma masyarakat ke arah yang lebih baik. (Sahal Sabilil Muttaqin)

Leave a Reply

Your email address will not be published.