Categories
CORETAN CENDEKIA

Membangkitkan Macan Asia dengan Interdisipliner

“Robot robot bernyawa tersenyum menyapaku Selamat datang kawan di belantara batu Kulanjutkan melangkah antara bising malam Mencari tempat mencari harapan”.

Sepenggal lirik Nyanyian Ujung Gang milik Iwan Fals terdengar cocok dengan dinamika dunia saat ini. Dunia yang pernah terpuruk dengan bergulirnya Perang Dunia II kini mulai bangkit. Hak asasi manusia yang pada masa itu dirampas oleh ambisi dan kekuasaan sudah kembali ke tangan pemiliknya. Semua lapisan masyarakat dunia mulai berbondong-bondong untuk memperbaiki kualitas hidup mereka. Hasrat masyarakat untuk mendapatkan pencapaian yang lebih baik terus bergelora di seluruh penjuru dunia. Entah itu negara maju ataupun berkembang, yang punya limpahan sumber daya alam ataupun yang hanya punya tanah tandus, mereka seakan berkomplot untuk bisa menciptakan surga di bumi.

Pemikiran masyarakat telah berkembang pesat sehingga menciptakan revolusi ilmu dan teknologi. Dalam sejarah peradaban manusia belum pernah terjadi perkembangan ilmu dan teknologi yang secepat kilat seperti saat ini. Pada zaman Albert Eistein masih hidup, orang-orang membutuhkan waktu puluhan tahun untuk memproduksi secara masal penemuan mereka. Hal ini tentu berkebalikan 180˚ dengan keadaan saat ini. Seiring menuanya usia bumi kecanggihan teknologi yang menyelimuti dunia sudah tak dapat diterka oleh nalar. Para manusia yang keranjingan teknologi terus menerus melakukan suatu inovasi untuk membuat hal yang mustahil menjadi kenyataan.

Kemajuan teknologi yang tengah mengguncang dunia tentunya tidak bisa lepas dari peranan ilmu yang lahir dari proses pendidikan. Selepas Perang Dunia II, pendidikan banyak diburu oleh bangsa-bangsa di dunia. Semua negara mempunyai keinginan untuk mencerdaskan bangsanya, begitu pula dengan Indonesia. Sesuai dengan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, salah satu tujuan dari bangsa Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Indonesia membutuhkan suatu sistem pendidikan yang tepat untuk mewujudkan cita-citanya. Sistem pendidikan dapat dikatakan tepat apabila mampu melahirkan manusia-manusia yang merdeka yaitu manusia yang secara lahir batin tidak tergantung pada orang lain dan bersandar diatas kekuatan sendiri. Alangkah indahnya jika pendidikan di Indonesia dapat seperti itu, mampu memberikan manfaat bagi perikehidupan bersama dan sesuai dengan hidup serta penghidupan rakyat. Namun pada kenyatannya, sistem pendidikan Indonesia masih belum berhasil menciptakan manusia-manusia yang merdeka. Mayoritas produk keluaran dari sistem pendidikan Indonesia masih menggunakan satu arah pandang saja dalam menyelesaikan suatu permasalahan sebab mereka tercipta oleh sistem pembelajaran monodisipliner. Hal ini dapat dengan mudah dibuktikan dengan para guru yang masih saja menyuapi muridnya dengan teori-teori dari ahli A sampai Z tanpa memberikan kesempatan bagi muridnya untuk mengembangkan pemikiran mereka. Konsep monodisipliner yang lebih mengagungkan penalaran vertikal masih menjadi primadona di berbagai instansi pendidikan di Indonesia.

Pendidikan kita masih menganut sistem usang yang tak lagi cocok dengan perkembangan zaman. Hal tersebutlah yang membuat primitifnya pemikiran generasi muda Indonesia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Organisasi kerjasama dan pembangunan Eropa OECD tentang kualitas pendidikan di dunia, Indonesia menempati urutan ke 69 dari 76 negara. Hal tersebut tentu sangat kontras jika dibandingkan dengan Singapura yang bertengger di peringkat pertama. Disaat murid-murid di Singapura sudah melesat bak roket, apa daya murid-murid di Indonesia masih merangkak tak tahu arah. Meskipun bertetangga perbedaan keluaran dari kedua negara ini sangatlah berbeda. Singapura mampu menghasilkan generasi muda yang lebih mengandalkan akal, namun Indonesia harus puas dengan generasi mudanya yang lebih gemar main okol. Lihatlah betapa jagoannya murid-murid SMA yang suka main jotos apabila ada yang kontra dengan mereka. Potret generasi muda Indonesia yang kurang greget itu melambangkan bahwa penggunaan pembelajaran monodisipliner yang didewakan di Indonesia menyebabkan keterbelakangan bagi generasi muda.

Hidup di peradaban dunia yang semakin canggih seperti saat ini jika masih mengandalkan pembelajaran monodisipliner akan membuat kelimpungan para pelajar. Padahal Indonesia sangat membutuhkan generasi-generasi muda yang tahan gesekan untuk melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan negara. Pada kenyataannya menciptakan penerus bangsa yang tahan gesekan tak semudah membalikan telapak tangan. Pemikiran generasi muda Indonesia sudah lama terpenjara dengan pembelajaran monodisipliner yang terlalu posesif mengekang mereka hanya fokus pada satu disiplin ilmu sehingga membuat mereka kurang terbiasa menerima perbedaan ataupun pembaruan.

Pendidikan harus berpandangan luas dan jauh ke depan. Karena pendidikan pada pokoknya bertujuan agar anak didik dapat mempertahankan, memelihara, dan mengembangkan hidupnya dalam lingkungannya, dan dapat berguna pula bagi kelangsungan hidupnya itu, maka kurikulum atau materi pendidikan harus berorientasi kepada pengalaman hidup (life experience oriented), untuk mencapai 5 perangkat sasaran pendidikan, yaitu: (1) nilai dan sikap, (2) kemampuan, (3) kecerdasan, (4) ketrampilan, dan (5) kesadaran ekologi dan kemampuan berkomunikasi dengan lingkungannya, yaitu lingkungan sosial, fisik, dan biologisnya. Demikian pula kurikulum harus beraspirasi dan dijiwai aspek-aspek: misi nasional, misi nasional budaya, dan misi pembangunan dan modernisasi. Hal ini menuntut agar pendidikan mempunyai pandangan luas dan memakai pendekatan interdisipliner, karena masalah-masalah hidup beraneka ragam dan saling berkaitan (Mashuri 1973).
Interdisipliner merupakan suatu konsep penting pada era globalisasi seperti saat ini. Perguruan Tinggi sebagai instansi pendidikan paling dewasa dibandingkan SMA, SMP ataupun SD harus menerapkan konsep interdisipliner untuk kegiatan pembelajaran sebab usia para mahasiswa sudah cukup matang untuk menerima adanya revolusi pembelajaran. Perguruan Tinggi harus berani mengubah sistem pendidikan Indonesia yang telah usang sehingga mampu menjadi kawah candradimuka bagi mahasiswanya. Mahasiswa yang dihasilkan dari gemblengan Perguruan Tinggi yang berhasil menerapkan pembelajaran interdisipliner pasti akan memancarkan aura-aura pembaruan yang kuat. Membayangkan para mahasiswa Indonesia mampu berpikiran terbuka dengan mengombinasikan berbagai disiplin ilmu untuk menyelesaikan suatu permasalahan merupakan secercah harapan bagi Indonesia. Dengan mengandalkan penalaran lateral yang merupakan bentukan dari pembelajaran interdisipliner akan memberikan mahasiswa keluwesan dalam menciptakan gagasan-gagasan baru yang efektif. Mereka tak akan pernah mengkerut apabila bertemu dengan momok-momok dunia yang menyeramkan. Mereka akan menjadi manusia-manusia merdeka yang tangguh dan akhirnya mampu menyokong NKRI untuk berdiri dengan kaki sendiri.

Mengingat banyaknya hal-hal positif yang akan tercipta dengan beralih menggunakan pembelajaran interdisipliner merupakan suatu landasan kuat untuk melakukan revolusi pada sistem pendidikan di Indonesia. Perguruan tinggi memang dituntut menjadi fasilitator demi terwujudnya revolusi tersebut, namun keputusan krusial ada di tangan para mahasiswa. Jika mereka lebih memilih mempertahankan pembelajaran monodisipliner maka Indonesia hanya akan menunggu waktu kehancurannya karena tak mampu melewati seleksi alam akibat adanya transformasi dunia. Namun, apabila mahasiswa Indonesia dapat siuman dari biusan monodisipliner dan beralih menggunakan semangat interdisipliner untuk membangun negeri niscaya aungan macan asia yang sudah lama tertidur akan terdengar kembali dan mampu merajai dunia. (Farah Dini Rahmawati)

Leave a Reply

Your email address will not be published.