Categories
CORETAN CENDEKIA

KALI BELIK

Kali belik terdiri dari dua kata yaitu “kali” dan “belik”. Dua kata tersebut merupakan kata yang diambil dari bahasa jawa. Kata pertama “kali” artinya sungai dan “belik” artinya “sumber mata air” sehingga kali delik dapat diartikan sebagai sungai yang berasal dari mata air. Sungai tersebut memang sangat tersembunyi, terletak di kota Yogyakarta menyelinap di antara bangunan-bangunan permanen dan semi permanen. Letak kali belik tepatnya di Klitren Gondokusuman Yogyakarta. Tidak seperti sungai-sungai pada umumnya, kali belik lebarnya tidak terlalu lebar hanya sekitar 2-3 meter. Sungai ini berasal dari sumber mata air yangg ada di wilayah Klitren Gondokusuman Yogyakarta.  Pada tahun 80an kali ini masih berfungsi layaknya kali seperti biasanya. Banyak ikan yang berlalu lalang hadir disetiap sudutnya. Anak-anak kecil senantiasa mandi tanpa khawatir terkena penyakit gatal dan penyakit kulit lainnya. Namun, demi kepentingan bangsa katanya, pada tahun 90an pemerintah membangun PDAM dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan air bersih warga kota yogyakarta sehingga kesejahteraan dapat terwujud. Bukan kesejahteraan yang didapat, namun ekses negatif dari pembangunan PDAM dirasakan oleh warga sekitar bantaran kali belik. Kali yang dulunya terdapat banyak ikan, sekarang sulit ditemui warna airnya pun berubah 180 derajat.

Banjir, diare menjadi topik utama mengenai kali belik ini. Bantaran kali yang seharusnya tidak boleh ada bangunan malah didirikan bangunan semi permanen. Keadaan ini ikut andil dalam peliknya masalah kali belik. Tanah sekitar hilir kali belik yang oleh warga setempat di beri nama “tanah palungguh” yang merupakan tanah kas kelurahan. Awal mulanya tanah palungguh memang tidak boleh didirikan bangunan, namun dengan mengatas namakan kesejahteraan, tanah palungguh disewakan yang hanya sekitar Rp 400.000/tahun. Tentu tidak butuh waktu lama untuk memenuhi tanah palungguhan tersebut. Tidak hanya kali yang menjadi sempit, diperburuk dengan warga yang tidak peduli dengan kebersihan lingkungan. Warga bantaran sungai yang apatis terhadap keadaan yang ada memperlengkap masalah kali belik menjadi komplek. Sifat apatis ini muncul karena beberapa faktor. Pertama, warga bantaran kebanyakan bukan warga asli yogyakarta. Mereka kebanyakan berasal dari orang luar jogja yang mengadu nasib di kota pelajar. akibatnya perasaan memiliki pun tidak ada. Selain itu, warga bantaran hilir kali belik juga hanya menerima sampah dari hulu kali belik sehingga walaupun sudah berkali-kali dibersihkan tetap saja kotor. Keadaan ini yang kemudian membuat warga hilir kali belik menjadi apatis dengan keadaan yang ada. Pemerintah daerah yang menutup mata dengan keadaan yang ada. Mereka hanya menganggap masalah ini sebagai angin yang kemudian akan berlalu, padahal realitanya masalah tak kunjung selesai. Kali belik memang tidak mungkin akan bersih dalam sekejap, butuh waktu yang tidak sedikit untuk merevitalisasi kali belik sebagaimana mestinya. Perlu adanya kesadaran diri untuk mengubah keadaan ini yang kemudian menjadi pekerjaan rumah khususnya untuk pemerintah daerah dan umumnya untuk warga kota yogyakarta. (Annas)

Leave a Reply

Your email address will not be published.