Oleh: Indah Kartika
“Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa, apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka “malapetaka”, oleh karena itu perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner.”
Ir. Soekarno
Mengutip pernyataan Ir Soekarno, urgensi ketersediaan pangan merupakan salah satu problema krusial yang masih dihadapi negeri ini. Indonesia dihadapkan pada permasalahan kelaparan dan gizi buruk yang terus terjadi di masyarakat. Meninjau kasus yang terjadi di berbagai lapisan masyarakat, warga yang berada di bawah garis kemiskinan masih mengalami kesulitan dalam pemenuhan pangan sehari-hari. Hal ini menjadi sangat ironis, mengingat Indonesia merupakan salah satu negara agraris yang kaya akan sumber daya alam termasuk pangan dan hasil pertanian namun ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri sendiri dan masih bergantung pada sokongan impor.
Meninjau kondisi riil yang tengah dihadapi bangsa ini, pemecahan persoalan pangan menjadi sangat kompleks karena menyangkut berbagai aspek kehidupan. Dari segi ekonomi, harga komoditi impor ternyata lebih murah dan mudah dijangkau daripada produk dalam negeri. Hal ini menyebabkan komoditi impor jauh lebih diminati oleh industri maupun masyarakat daripada produk dalam negeri. Jika dilihat dari segi sosial-budaya, faktanya masyarakat masih belum terbiasa mengonsumsi berbagai pangan olahan diversifikasi. Masyarakat Indonesia masih menjadikan nasi sebagai makanan pokok, dibandingkan beralih pada komoditi lain seperti sagu, umbi-umbian, dan pangan pokok lainnya. Apabila ditilik dari aspek politis, birokrasi yang dijalankan pemerintah masih memudahkan aliran barang impor untuk masuk ke dalam negeri, yang justru membunuh industri kecil seperti UMKM, daripada berupaya membangun dan mengembangkan industri-industri yang telah ada.
Contoh permasalahan-permasalahan tersebut menjadi indikator betapa rumitnya persoalan pangan yang dihadapi bangsa ini. Jika, ditarik benang merah dapat dikatakan bahwa ketahanan pangan sebagai wujud pemenuhan pangan dalam negeri masih belum dapat tercapai, ditandai berbagai data yang menunjukkan tingginys angka kelaparan dan gizi buruk di berbagai daerah di Indonesia. Kedaulatan panganpun dirasa masih jauh dari genggaman, mengingat Indonesia justru semakin gencar mengimpor komoditi asing dibandingkan mengembangkan produk dari industri yang ada di dalam negeri.
Apabila kita memiliki sebuah idealisme besar agar bangsa ini dapat mencapai surplus pangan, maka ternyata masih banyak permasalahan-permasalahan yang perlu dibenahi terlebih dahulu oleh pemerintah dan masyarakat. Analogikan, mencapai bangsa yang mandiri dan berdaulat dari segi pangan, sebagaimana kita membangun sebuah rumah yang utuh. Bagaimana kita bisa membangun atap rumah, jika belum ada fondasi yang menopang rumah itu? Bagaimana kita bisa membangun atap rumah, jika belum terbangun dinding yang mengokohkan rumah itu? Anggap saja, atap rumah tersebut sebagai cita-cita besar bangsa ini untuk mencapai surplus pangan tersebut, fondasi rumah sebagai upaya mencapai ketahanan pangan dan dinding rumah sebagai upaya mewujudkan kedaulatan pangan. Jika kita ingin membuat rumah yang utuh, pertama kali dimulai dengan membangun atap, apakah itu mungkin? Apa kita bisa membangun atap rumah tanpa terlebih dahulu membangun fondasi dan dindingnya yang menyokongnya? Kesimpulannya, jika kita ingin membangun atap, maka kita harus membangun fondasi dan dinding rumah terlebih dahulu. Jika fondasi dan dinding telah terbangun dengan sempurna, maka kita baru bisa membangun atap yang diinginkan untuk membangun sebuah rumah yang utuh. Dapat dikatakan, selalu ada tahapan yang urut dan beruntun, yang harus ditempuh demi mencapai tujuan yang tinggi. Seperti halnya dalam mencapai cita-cita untuk mencapai surplus pangan tersebut, kita harus mencapai ketahanan pangan dan kedaulatan pangan terlebih dahulu untuk akhirnya mewujudkan cita-cita surplus pangan itu sendiri.
Surplus pangan hanya akan menjadi mimpi atau menjadi tantangan bagi bangsa ini adalah pilihan kita sendiri sebagai pembangun negeri ini. Refleksikan kembali diri kita sebagai sang pembangun rumah. Kita bisa memilih menjadi pembangun rumah yang andal dengan memperhatikan dan menggunakan kualitas semen, pasir dan material yang baik, atau justru sebaliknya. Yang perlu kita ingat, bagaimana cara kita berproses dalam mencapai sebuah cita-cita, kurang lebih akan memengaruhi hasil dari cita-cita itu sendiri. Jika kita bersungguh-sungguh dan berupaya maksimal untuk mencapai sebuah cita-cita, maka cita-cita tersebut akan menghasilkan hal yang baik pula, dan begitu juga sebaliknya. Dalam hal ini tidak hanya berbicara tentang proses dan material yang digunakan semata, kerjasama antar elemen pembangun rumah juga menjadi aspek terpenting untuk bersinergi mencapai sebuah tujuan. Apakah sebuah rumah dapat dibangun tanpa adanya koordinasi yang baik antar pembangun? Apakah rumah yang ideal dapat diciptakan hanya dengan usaha seorang pengaduk semen? Apakah rumah yang utuh dapat dibuat hanya dengan usaha seorang penata batu bata? Apakah rumah dapat terselesaikan dengan hanya dengan perintah dari mandor tanpa adanya bantuan pekerja? Nyatanya, rumah yang ideal hanya mampu diselesaikan dengan kerjasama yang hebat antar pembangun. Sebuah tujuan hanya dapat tercapai dengan adanya kemauan dan kemampuan dari keseluruhan elemen yang terlibat untuk bersama-sama mewujudkan tujuan yang diharapkan. Begitu pula dengan cita-cita bangsa dalam mencapai surplus pangan tersebut, negeri ini membutuhkan kemauan, kerjasama, dan kompetensi dari berbagai elemen bangsa untuk mewujudkannya. Pada akhirnya, akankah surplus pangan menjadi sebuah tantangan, atau sekadar mimpi, adalah bagaimana cara keseluruhan elemen-elemen bangsa dalam melihat dan menghadapi problema tersebut.
“Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”
Ir Soekarno