By: Anggita Rachmawati (FPsi, 2019)
Sewaktu kecil mungkin kalian pernah mendengar sebuah kalimat seperti “Kamu jangan duduk di depan pintu nanti jodohnya kehalang orang lho”.
Selanjutnya, otak kalian akan berpikir kritis dan menjawab “Hah? Mana mungkin? Mungkin hanya bualan”. Tetapi, hari itu kalian melihat ibu kalian sedang berbincang dengan tetangga “Iya bu, saya lihat si A sudah tua tapi belum juga menikah. Terkadang, saya melihat ia di depan rumahnya. Dia sering sekali duduk di depan pintu, mungkin karena itulah jodohnya belum juga datang untuknya”. Otak kalian mungkin agak sedikit bingung ketika melihat kejadian itu.
Selanjutnya, ayah kalian pulang kerja dan bercerita mengenai koleganya yang tidak jadi menikah akibat kegemarannya menunggu abang ojol di depan pintu lift dan menasihati kalian agar tidak melakukan hal yang sama. Setelah dibombardir dengan semua pernyataan itu, bagaimana pemikiranOtakmu? Mungkin mulai kacau dan berpikir bahwa “Ah mungkin saja benar, faktanya banyak kok. Yaudah deh lakuin aja. Toh gak salah juga jika mengikuti perkataan orang tua” atau mungkin langsung validasi tanpa fakta “Wah, benar juga ya Pah! Aku harus menghindari duduk di pintu mulai detik ini juga”.
Sebenarnya, apa sih yang mungkin saja sedang terjadi?
Dalam ilmu psikologi, kita mengenal fenomena ini dengan nama Illusory Truth Effect. Fenomena Illusory Truth Effect adalah fenomena yang terjadi ketika sebuah pernyataan diulang terus menerus dan meyakinkan kita tentang suatu hal sehingga otak kita merasa familiar walaupun faktanya masih belum jelas. Penelitian ini pertama kali dipublikasikan pada tahun 1977 yang diteliti di Temple University oleh Dr. Lynn Hasher dan koleganya (Pierre, 2020).
Sebenarnya, tidak hanya mitos seperti itu saja yang berhubungan dengan Illusory Truth Effect. Fenomena lain seperti hoax, surat kaleng, dan gosip di berbagai aplikasi pesan yang tidak jelas sumbernya, juga termasuk Illusory Truth Effect. Intinya hal ini merupakan cara membuat sebuah kebohongan menjadi fakta dengan mengulang informasi tersebut secara berulang-ulang.
Lalu, faktor apa yang dapat menimbulkan hal tersebut?
Banyak faktor yang mendasari mekanisme pembentukan dari Illusory Truth Effect. Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa kemudahan dalam mendapatkan informasi menjadi dasar Illusory Truth Effect. Kemudahan itu didapat dengan repetisi karena memudahkan proses penerimaan daripada statement baru. Akhirnya akan memengaruhiorang untuk salah memberikan kesimpulan (Unkelbach, 2007; Unkelbach & Stahl, 2009 dalam Fazio, Brashier, Payne, And Marsh, 2015 ).
Kemudahan yang dimaksudkan dalam jurnal tersebut bisa beraneka macam aktivitas, contohnya dengan tidak memfilter suatu informasi dan langsung menelannya mentah-mentah. Berpikir kritis memang kadang terasa melelahkan ya? Tapi efek dari kemalasan itu ternyata menjadi cikal bakal fenomena ini dan menyebarkan efek negatif untuk orang-orang sekitar.
Satu fakta menarik yang saya dapatkan adalah orang yang memiliki pengetahuan juga dapat mengalami fenomena ini.Sebuah penelitian menunjukkan bahwa terkadang orang gagal untuk menggunakan pengetahuan mereka dan cenderung untuk bergantung sama informasi yang mudah. Pada suatu penelitian, partisipan secara akurat menilai fakta dengan pernyataan tahu dan tidak tahu, tapi tidak ada korealasi antara pengetahuan dan repetisi(Fazio, dkk 2015).
Hal ini juga didukung oleh sebuah penilitian yang menyatakan bahwa perbedaan kognitif tiap individu juga mempengaruhi. Perbedaan kognitif tersebut termasuk mekanisme seseorang dalam memilih keputusan dan proses pembentukan formasi pengetahuan (De keersmaecker, Bostyn, Fontaine, Van Hiel, & Roets, 2018; Pennycook, Fugelsang, & Koehler, 2015b; Roets., 2015; Stanovich dkk., 2016 dalam Fazio, dkk 2015).
Sebuah pemikiran bahwa kita tidak buta terhadap kebenaran adalah benar. Manusia memiliki kemampuan untuk menilai secara masuk akal dan menggunakan kapasitas logis untuk melindunginya dari efek repetisi. Dengan berbagai bombardir informasi di era globalisasi ini, tentunya tidak ada pengeculalian bagi kita untuk serta merta menanyakan sebuah fakta(Glodhill, 2016).
Dari berbagai penjelasan yang sudah tercantum di atas,ada sedikit cara yang dapat kita lakukan untuk mengurangi fenomena ini. Seperti yang bisa kita lihat, fenomena ini memengaruhi tidak hanya pada diri kita sendiri tetapi juga terhadap orang lain, terutama jika sebuah tulisan sifatnya persuasif. Hal ini dapat memengaruhi kita kedepannya.
Kalau begitu, hal-hal apa yang dapat kita lakukan?
Satu pendekatan yang mungkin harus dilihat adalah tidak semua sumber informasi itu sama dan dapat dipercaya sehingga perlu hati-hati ketika melakukan pengecekan secara cepat. Hal ini tidak hanya berlaku ketika seseorang memiliki kemampuan untuk melakukan pengambilan informasi dan menggambarkannya di tempat pertama. Jika informasi tersebut tidak terdapat pada otak kita, kita harus berkerja lebih ekstra (contohnya mencari informasi tersebut secara online), untuk mencarinya pun merupakan sebuah tantangan baru (Marker, 2019).
Cara konkret lain yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.
- Jika kalian ingin belajar atau mencari tahu tentang suatu hal, pastikan sumber tersebut bisa dipercaya serta melakukan pengecekan sumber;
- Bijakdalam memilih konten dan informasi dengan berbagai cara (misalnya kritislah ketika memperoleh berita);
- Teliti sumber yang tidak dikenal dan jangan langsung percaya pada informasi tersebut. Bahkan, kita tidak boleh langsung percaya pada sumber yang didanai oleh suatu iklan;
- Jangan mengandalkan berita di media sosial tanpa sumber yang tidak jelas;
- Sebuah berita biasanya mengandung emosional, coba sekali lagi pastikan bahwa berita tersebut kredibel dan terpercaya. Atur regulasi emosi ketika membaca sesuatu.
Terakhir, saya ingin menyampaikan bahwa pengemukaan informasi “The Illusionary of Truth” menjadi sebuah hal penting untuk dibicarakan. Pada tulisan kali ini, saya hanya membahas sedikit. Saya berharap pembaca menjadi lebih sadar dengan fenomena ini dan mulai mengerti cara pencegahannya. Era globalisasi seperti saat ini memunculkan berbagai fenomena negatif seperti kemunculan hoax dan apabila terus menerus disebarkan, maka efek “The Illusionary of Truth” akan semakin menjangkiti banyak orang.
Daftar Pustaka
De keersmaecker Jonas, Dunning, D., Pennycook, G., Rand, D. G., Sanchez, C., Unkelbach, C., & Roets, A. (2019). Investigating the robustness of the illusory truth effect across individual differences in cognitive ability, need for cognitive closure, and cognitive style. Personality and Social Psychology Bulletin, 014616721985384. doi:10.1177/0146167219853844
https://deepstash.com/idea/25495/overcome-the-illusory-truth-effect
Fazio,Lisa., Brashier ,Nadia,. Keith., Marsh, Elizabeth. (2015). Knowledge does not protect against illusory truth. Journal of Experimental Psychology, 144, 993-1002. http://dx.doi.org/10.1037/xge0000098
Goldhill, Olivia (2016, 30 Oktober). Science Suggest that frequently repeating a lie creates “ the illusion of truth”. Tulisan pada https://qz.com/822907/science-suggests-that-frequently-repeating-a-lie-creates-the-illusion-of-truth/
Parker, Holly. (2019, 10 November). Fake News and the illusory truth effect. Tulisan pada https://www.psychologytoday.com/za/blog/your-future-self/201911/fake-news-and-the-illusory-truth-effect
Pierre, Joe. (2020, 22 Januari). Illusory Truth, Lies, and Political Propaganda : Part 1. Tulisan pada https://www.psychologytoday.com/us/blog/psych-unseen/202001/illusory-truth-lies-and-political-propaganda-part-1
Sumber Gambar