Sampah selalu menjadi perbincangan hangat yang tak kunjung usai diantara permasalahan yang ada di Indonesia. Setiap hari jutaan manusia khususnya di Indonesia selalu menghasilkan sampah, baik sampah organik maupun membuang sampah anorganik selepas aktivitas yang dilakukan. Meskipun pemerintah telah mengupayakan yang terbaik untuk pengelolaan sampah itu sendiri, semua itu dirasa kurang efektif dan masih menimbulkan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Apalagi masalah sampah plastik yang tak dapat diuraikan oleh mikroorganisme, jika dibiarkan terus menerus, daratan Indonesia ini akan dihiasi sampah plastik, belum lagi yang menyumbat saluran air dan menggenang di sungai bisa berakibat bencana yang merugikan. Di Indonesia, kebutuhan plastik terus meningkat hingga mengalami kenaikan rata-rata 200 ton per tahun. Tahun 2002, tercatat 1,9 juta ton, di tahun 2003 naik menjadi 2,1 juta ton, selanjutnya tahun 2004 naik lagi menjadi 2,3 juta ton per tahun. Di tahun 2010, 2,4 juta ton, dan pada tahun 2011, sudah meningkat menjadi 2,6 juta ton. Akibat dari peningkatan penggunaan plastik ini adalah bertambah pula sampah plastik. Berdasarkan asumsi Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), setiap hari penduduk Indonesia menghasilkan 0,8 kg sampah per orang atau secara total sebanyak 189 ribu ton sampah/hari. Dari jumlah tersebut 15% berupa sampah plastik atau sejumlah 28,4 ribu ton sampah plastik/hari (Pahlevi, 2012).
Masalah tersebut juga turut dirasakan masyarakat Desa Glondong, Purwobinangun, Sleman. Menurut tuturan warganya pengelolaan sampah di daerah tersebut masih belum maksimal, mereka masih sering membakar atau mengubur sampah, baik sampah organik maupun yang anorganik. Pembakaran sampah sendiri jika dilakukan diluar kendali akan menghasilkan polusi udara yang nantinya akan menimbulkan masalah yang lebih serius lagi seperti penyakit saluran pernafasan. Meskipun terdapat petugas pemungut sampah, namun hal tersebut dinilai kurang efektif karena masalah biaya dan kehadiran petugas tersebut yang tidak menentu. Bersumber dari risalah tadi, tim Cendikia Muda berinisiatif untuk menyelesaikan masalah pembuangan sampah tersebut dengan menawarkan tiga ide brilliant seperti biopori sederhana, bank sampah dan daur ulang sampah menjadi suatu kerajinan bernilai. Hal tersebut menjadi angin segar bagi masyarakat setempat untuk memulai pengelolaan sampah secara tepat.
Di keesokan hari, yakni tanggal 4 November 2018 bertempat di halaman rumah Bu Dukuh, Desa Glondong, Purwobinangun, Sleman, Tim Cendikia Muda menerapkan salah satu ide yang digagasnya dengan membuat biopori sederhana untuk memanfaatkan sampah organik menjadi pupuk kompos yang nantinya berguna untuk kesuburan tanaman. Mekanisme pembuatannya sendiri dengan membuat lubang dengan kedalaman kurang lebih 50 cm dan lebar sekitar 1 meter, kemudian dimasukkan sampah organik ke dalam lubang tersebut dan ditutup dengan tikar yang memiliki pori/celah untuk kemudian ditimbun dengan tanah. Meskipun demikian, terdapat kendala yang dialami, seperti adanya batuan besar sehingga mempersulit pengedukan tanah dan sulitnya meminimalisir kemungkinan air hujan yang masuk. Pembuatan biopori sederhana ini memerlukan waktu kurang lebih dua jam.
Selain ide dari tim Cendikia Muda, penulis menggagas pemanfaatan sampah plastik anorganik menjadi bahan bakar seperti solar dan lilin melalui proses yang dinamakan Thermal cracking. Thermal cracking adalah termasuk proses pyrolisis, yaitu dengan cara memanaskan bahan polimer tanpa oksigen. Proses ini biasanya dilakukan pada temperatur antara 350 °C sampai 900 °C. Dari proses ini akan dihasilkan arang, minyak dari kondensasi gas seperti parafin, isoparafin, olefin, naphthene dan aromatik, serta gas yang memang tidak bisa terkondensasi (Budi, 2013). Lilin merupakan salah satu benda yang saat ini masih dimanfaatkan oleh penduduk di Indonesia sebagai alat penerang jika listrik padam atau sedang dalam daerah tak berlistrik. Bahan baku pembuatan lilin sendiri adalah parafin, sehingga kandungan parafin yang dihasilkan dari proses thermal cracking dapat dijadikan alternatif pemanfaatan limbah plastik untuk digunakan kembali menjadi lilin.
Penelitian dengan jenis plastik yang lain juga dilakukan oleh Tubnonghee dkk. pada tahun 2010. Plastik yang diteliti untuk dijadikan bahan bakar minyak adalah jenis polyethylene (PE) dan polyprophelene (PP). Pembuatan bahan bakar minyak dari plastik menggunakan proses thermo cracking (pyrolisis). Pyrolisis dilakukan pada temperatur 450 °C selama 2 jam. Gas yang terbentuk selanjutnya dikondensasikan menjadi minyak di dalam kondenser yang bertemperatur 21 °C. Minyak yang dihasilkan selanjutnya dianalisa dengan gas chromatography/mass spectrometry untuk mengetahui distribusi jumlah atom karbonnya. Dari hasil analisa tersebut diketahui bahwa komposisi minyak dari campuran plastik PE dan PP tersebut mempunyai jumlah atom Carbon yang setara dengan solar, yaitu C12 – C 17.
Beberapa penelitian tentang pengelolaan sampah plastik diatas memberikan gambaran bahwa banyak cara yang dapat digunakan untuk memanfaatkan sampah anorganik yang cenderung sulit didegradasi oleh mikroorganisme. Dengan kemajuan alat teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan, tantangan seperti melimpahnya sampah anorganik plastik di Indonesia bukan menjadi masalah lagi bukan?
Oleh Dwi Ratih C.
Sumber:
Budi, U.S., 2013, Berbagai Metode Konversi Sampah Plastik Menjadi Bahan Bakar Minyak, Jurnal Teknik, Vol. 3(1), Universitas Janabadra, Yogyakarta.
Pahlevi, M.R., 2012, Sampah Plastik. Tersedia di: file:///I:/Artikel%20plastic%20to%20oil/twit-sampah-plastik.html (diakses pada tanggal 15 November 2018, pukul 09.32 WIB).
Tubnonghee. R., Sanongraj, S., Sanongraj, W., 2010, Comparative Characteristics of Derived Plastic Oil and Commercial Diesel Oil, The 8th Asian-Pacific Regional Conference on Practical Environmental Technologies (APRC2010), Ubon Ratchathani University, Ubonratchathani, Thailand.