Categories
CORETAN CENDEKIA

Isu Kegiatan Peternakan sebagai Penyumbang Terbesar Pemanasan Global – Dilema Antara Usaha Peningkatan Produktivitas Bahan Pangan Hewani dan Gerakan Cinta Lingkungan

oleh Sella Dzuikhija Departemen Gama Cendekia Coorporation 2016

084004700_1447294657-20151111-Heboh_-Ribuan-Domba-Kepung-Pengendara-di-Tengah-Jalan-Reuters-1

Manusia membutuhkan berbagai asupan nutrien sebagai penghasil energi untuk melakukan kegiatan sehari-hari dan mempertahankan kehidupannya. Asupan nutrien tersebut bisa didapatkan melalui makanan, baik yang berasal dari makanan nabati maupun makanan hewani. Makanan nabati adalah makanan yang berasal dari produk-produk yang berasal dari tumbuhan seperti sayur, buah, minyak nabati, biji-bijian dan umbi-umbian. Makanan hewani adalah makanan yang diperoleh dari poduk-produk yang dihasilkan oleh hewan, seperti daging, susu, telur dan ikan.

Salah satu nutrien yang sangat dibutuhkan oleh manusia yaitu protein dan asam amino. Protein dan asam amino mutlak dibutuhkan oleh tubuh manusia sebagai bahan penyusun sel. Sel manusia memang dapat mensintesis asam amino sendiri, namun ada beberapa asam amino yang tidak dapat disintesis oleh tubuh. Asam amino tersebut disebut sebagai asam amino esensial. Asam amino esensial hanya dapat diperoleh manusia dari asupan makanan yang mereka makan. Asam amino esensial ini nanti akan sangat dibutuhkan dalam proses sintesis protein, dimana protein-protein tersebut akan sangat dibutuhkan untuk pembentukan berbagai enzim dan hormon dalam tubuh sehingga jika asam amino esensial tubuh tidak terpenuhi maka produksi enzim dan hormon akan teganggu dan proses metabolisme juga akan terganggu.

Produk makanan hewani mengandung protein hewani yang memiliki asam amino esensial yang lengkap. Protein hewani juga memiliki kandungan vitamin B12 yang tidak ditemui dalam protein nabati, dimana vitamin B12 ini sangat berguna dalam proses pembentukan sel darah merah, memperlancar sistem metabolisme dan menjaga sistem saraf (Nestle t.thn.). Asupan protein hewani juga penting bagi perkembangan otak anak, baik saat masih di dalam kandungan maupun saat masa kanak-kanak, sehingga untuk membentuk generasi yang cerdas diperlukan asupan protein hewani yang mencukupi. Untuk mencukupi kebutuhan protein hewani masyarakat, diperlukan adanya peternakan yang memproduksi komoditas hasil peternakan. Namun, ada isu yang berkembang belakangan ini bahwa sektor peternakan merupakan sektor yang banyak berkontribusi dalam pelepasan gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global.

Sapi merupakan hewan ruminansia dengan sistem pencernaan poligastrik. Sapi memiliki rumen, dimana di dalamnya terdapat mikroorganisme yang memecah selulosa pada dinding sel tumbuhan sehingga nutrien dalam tumbuhan tersebut dapat dimanfaatkan untuk proses metabolisme sapi. Dalam proses pemecahan selulosa, di dalam rumen terjadi fermentasi yang menghasilkan gas metana. Gas metana yang dihasilkan di dalam rumen sapi kemudian dikeluarkan dalam bentuk gas buangan (kentut dan sendawa) serta dalam feses sapi. Gas metana inilah yang disebut-sebut sebagai salah satu penyebab pemanasan global.

Gas metana sendiri adalah gas yang dampaknya terhadap pemanasan global lebih besar dibanding gas karobondioksida (). Human Society International (2014) menyatakan bahwa dalam jangka waktu 20 tahun, metana memiliki angka GWP (Global Warming Potential) setidaknya 25 kali lipat dibanding karbondioksida. Artinya, gas metana yang dihasilkan oleh kegiatan hasil peternakan memiliki dampak yang lebih signifikan dibanding gas karbondioksida yang dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar fosil. Sektor peternakan sendiri berkontribusi sebanyak 35%-40% dari total keseluruhan gas metana secara global. Diperkirakan setiap tahun ada 86 juta ton metana yang dilepaskan ke atmosfer sebagai hasil dari pencernaan hewan ternak. Gas metana ini tidak hanya dihasilkan oleh peternakan sapi, namun juga dihasilkan oleh peternakan kambing dan domba yang juga merupakan hewan poligastrik yang memiliki rumen dan mengalami fermentasi di dalam rumennya dan menghasilkan gas metana.

Selain gas metana, kegiatan di sektor peternakan secara tidak langsung juga bertanggung jawab terhadap emisi gas karbondioksida. Kegiatan distribusi pakan, ternak hidup, daging, susu, telur dan produk-produk olahan hasil peternakan membutuhkan bahan bakar fosil yang akan melepas gas karbondioksida ke atmosfer. Pembuatan pakan ternak juga membutuhkan berbagai komoditas pertanian seperti jagung dan kedelai. Produksi jagung dan kedelai sebagai bahan baku pembuatan pakan membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Akibatnya terjadilah deforestasi yang menambah buruk pemanasan global karena hutan sebagai penghasil oksigen dan paru-paru dunia  ditebangi dan diganti dengan komoditas pertanian sehingga menyebabkan penipisan lapisan ozon di atmosfer. Selain itu, perkebunan jagung dan kedelai yang memerlukan pupuk sehingga memunculkan munculnya pabrik-pabrik pupuk kimia. Adanya pabrik pupuk juga menghasilkan gas rumah kaca yang dilepas ke atmosfer. Pembakaran bahan bakar fosil alam distribusi pakan dan komoditas hasil peternakan, deforestasi dan emisi dari pabrik-pabrik pupuk tersebut secara tidak langsung merupakan dampak dari industri peternakan.

Dampak-dampak yang disebabkan pleh adanya industri peternakan tidak bisa sepenuhnya dihindari. Yang bisa dilakukan untuk saat ini adalah meminimalisir adanya dampak dampak merugikan tersebut. Secara garis besar, masalah pada sektor peternakan dan lingkungan dapat dibagi menjadi empat yaitu adanya metana sebagai hasil pencernaan secara biologis pada rumen ternak poligastrik, emisi gas karbondioksida pada proses distribisi pakan dan komoditas hasil peternakan, deforestasi akibat pembukaan lahan untuk ditanami komoditas bahan baku pakan ternak, dan emisi gas rumah kaca oleh pabrik pupuk.

Gas metana yang dihasilkan oleh ternak sebenarnya dapat diminimalisir dampak negatifnya dengan cara pemanfaatan feses ternak menjadi biogas. Instalasi pembuatan biogas memiliki desain yang sederhana dan mudah untuk dibuat. Cara ini efektif untuk mengurangi gas metana yang terdapat pada feses ternak. Selain nitu, pemanfaatan feses sebagai biogas juga merupakan salah satu bentuk dari pemanfaatan energi alternatif yang bersifat renewable. Pemanfaatan feses menjadi biogas juga dapat mengurangi biaya operasional peternakan karena biogas tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik untuk kegiatan operasional peternakan. Namun, pemanfaatan feses sebagai biogas hanya mampu mengatasi masalah emisi gas metana yangada pada feses, sedangkan gas metana juga terdapat pada kentut dan sendawa hewan ruminansia. Gas metana merupakan gas yang mutlak dihasilkanoleh hewan ruminansia, karena hal tersebut merupakan bagian dari aktivitas metabolismenya. Hal yang dapat dilakukan untuk meminimalisir dampak buruk dari masalah tersebut adalah dengan cara pemberian pakan dengan formulasi sedemikian rupa sehingga gas hasil fermentasi berupa metana yang dihasilkan oleh mikrobia dalam rumen dapat diminimalisir jumlahnya.

Sapi yang diternakkan, terutama di perusahaan-perusahaan feedlot pada umumnya akan diberi pakan dengan formulasi tertentu untuk mengoptimalkan pertumbuhannya. Pakan tersebut terdiri dari hijauan dan ransum. Puspitasari dkk (2015) menyatakan bahwa feses sapi Friesian Holstein (FH) laktasi yang diberi pakan ransum dan rumput gajah menghasilkan gas metana dengan jumlah yang lebih rendah dibandingkan sapi yang diberi pakan ransum dan jerami padi atau ransum dan campuran jerami padi dan rumput gajah. Artinya, pakan memiliki pengaruh terhadap produksi gas metana hewan ternak. Namun, sebagai sebuah industri, sektor peternakan juga memerhatikan efisiensi produksi. Tujuan dari industri peternakan sendiri adalah bagaimana caranya menghasilkan produk peternakan dengan waktu secepat mungkin supaya terjadi efisiensi. Untuk itu sudah banyak sekali penelitian tentang formulasi pakan dalam rangka meningkatkan produktivitas ternak. Pemberian pakan yang menghasilkan lebih sedikit gas metana menjadi sebuah dilema tersendiri karena pakan merupakan inti dari industri peternakan dimana 70% biaya produksi terletak pada pakan sehingga kenaikan biaya untuk pembuatan pakan dengan emisi metana rendah akan menyebabkan peningkatan biaya produksi yang cukup signifikan. Untuk itu, masih diperlukan penelitian bagaimana formulasi pakan yang dapat meminimalisir gas metana yang dihasilkan pada rumen sapi, namun tetap memberikan tingkat efisiensi yang tinggi terhadap usaha penggemukan ternak.

Emisi gas karbondioksida karena kegiatan distribusi ternak atau komoditas hasil ternak dapat diminimalisir dengan cara pembagian kuota wilayah ekspor dan impor ternak dan komoditas hasil ternak, sehingga negara eksportir hanya dapat mengekspor komoditasnya di negara yang letaknya tidak terlalu berjauhan. Selain itu, pengurangan kuota impor atau jual beli antar daerah ternak hidup juga dapat dikurangi dan diganti dengan impor daging beku yang lebih efisien tempat sehingga kegiatan distribusi juga menjadi lebih efisien. Pemerataan daerah sentra peternakan juga perlu dilakukan supaya kegiatan distribusi yang terjadi pada jarak yang terlalu jauh. Selain itu penggunaan bahan baku lokal sebagai bahan baku pakan juga dapat mengurangi banyaknya kegiatan distribusi.

Deforestasi yang disebabkan oleh penanaman jagung dan kedelai sebagai bahan baku pakan dan emisi yang diakibatkan oleh pabrik pupuk kimia dapat diminimalisir dengan cara penerapan integrated farming system (IFS). Lahan kosong di sekitar peternakan dapat ditanami komoditas bahan pakan sehingga mengurangi deforestasi. Selain itu, sludge atau lumpur feses yang gasnya sudah dijadikan biogas dapat dimanfaatkan sebagai pupuk bagi tanaman bahan pakan yang ditanam di sekitar peternakan sehingga mengurangi penggunaan pupuk kimia.

Daftar Pustaka

International, Humane Society. An HSI report : the impact of animal agriculture on global warming and climate change. Humane Society International, 2014.

Nestle, Sahabat. Keunggulan dan kekurangan protein nabati dan hewani. https://www.sahabatnestle.co.id/content/view/keunggulan-dan-kekurangan-protein-nabati-hewani-html (diakses April 14, 2017).

R. Puspitasari, Muladno, A. Atabany, Salundik. “Produksi gas metana (CH3) dari feses sapi FH laktasi dengan pakan rumput gajah dan jerami padi.” Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan, 2015: 40-45.

Sumber gambar : http://photo.liputan6.com/

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.