Pendidikan merupakan salah satu indikator berhasilnya suatu negara untuk unggul dan maju dalam menyejahterakan rakyatnya. Tak heran bila negara di seluruh dunia berlomba untuk menciptakan hal baru dan mendukung keberhasilan anak bangsanya untuk berkarya, negara juga memberikan kontribusi khusus bagi dunia pendidikan, salah satunya Indonesia.
Mengutip situs http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/berita/3717 dinyatakan bahwa dalam APBN 2015, alokasi untuk dana fungsi pendidikan mencapai Rp409 triliun. Sedangkan sebesar Rp254 triliun dari alokasi tersebut akan diserahkan langsung ke daerah. Dana yang banyak sudah digelontorkan pemerintah Indonesia untuk memperbaiki kualitas pendidikan bangsa, namun realitanya masih jauh dengan harapan. Lalu apa solusi yang tepat untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia?. Ya, salah satunya adalah model pengajaran kerja yang berbasis interdisipliner.
Ahli bernama Van Klink dan Taekema berpendapat bahwa hasil interdisipliner yang terintegrasi mungkin juga dapat melahirkan disiplin yang baru. Dalam beberapa kasus, adanya integrasi dari dua atau lebih disiplin ilmu berakibat pada “meleburkan batas akademik yang ada” dan mungkin dapat mengarah pada penciptaan disiplin baru (Bermingham dan Moritz, 1998). Dari pendapat kedua tokoh tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam suatu pendidikan yang berbasis interdisipliner, suatu pemecahan masalah membutuhkan berbagai sisi sudut pandang keilmuan, sehingga seluruh aspek kehidupan dipertimbangkan dan menjadi disiplin yang baru.
Basis inilah yang perlu diterapkan pada pola pemikiran siswa sekolah menengah atas, yang notabene sudah memiliki kemandirian berpikir dan mengutarakan penemuan baru sesuai kreasi dan imajinasi yang harus dapat dipertanggung jawabkan demi kemajuan pendidikan di Indonesia. Peran guru juga sangat mendominasi keberhasilan basis, karena pada taraf pendidikan sekolah menengah atas, guru sangatlah bertanggung jawab untuk menunjukkan jalan dan petunjuk siswa didiknya.
Perlakuan pendidikan berbasis interdisipliner oleh guru dapat diterapkan dalam peberian tugas tim kerja, karena tim kerja merupakan salah satu cara efektif untuk menanamkan pola berpikir dan berperilaku dari berbagai sisi sudut pandang secara interdisipliner. Namun, penguatan pola pikir berbasis interdisipliner ini kembali pada peran dan tanggung jawab siswa. Dalam hal ini, guru hanya menjadi pengontrol dan komunikator, sedangkan seluruh aksi dilakukan oleh siswa.
Dalam penyelesaian suatu masalah di kerja tim sesuai dengan apa yang disebutkan oleh ulasan Kapila dan Moher (1995:9-13), hal pertama yang harus dimengerti dan dilakukan siswa adalah identifikasi masalah. Siswa diajarkan mengenai perumusan pertanyaan dari berbagai aspek sehingga dapat menjawab permasalahan. Setelah menemukan pertanyaan, siswa dapat menentukan studi ilmiah apa yang paling cocok untuk diterapkan pada pertanyaan dan jawabannya. Dalam penugasan ini, alangkah baiknya bila guru mampu memberikan permasalahan yang ada di realita dan tidak bersesuaian dengan teori yang ada atau permasalahan yang masih ambigu untuk ditetapkan jawabannya, sehingga siswa dapat terjun langsung ke masyarakat untuk mencari kebenaran lewat wawancara ataupun konsultasi pada pakar permasalahan tersebut.
Hal kedua adalah tim manajemen. Dalam suatu tim terdiri dari pemimpin dan anggota. Seorang pemimpin haruslah menjadi pengontrol yang tegas untuk melaksanakan seluruh tugas. Pemimpin menjadi basis utama untuk memilih sisi sudut pandang pemikiran sebuah permasalahan dan menjadi sosok yang dapat mengintegrasikan seluruh aspek pandangan dan seluruh disiplin ilmu dari para anggotanya. Untuk menjadi tim yang handal diperlukan sifat-sifat dasar yang perlu diperhatikan, yaitu rasa ingin tahu, pemikiran terbuka, fleksibel, kreatif, inovatif, dan mampu mendedikasikan diri pada sebuah objektivitas yang bertanggung jawab.
Hal ketiga adalah sintesis dan penyajian hasil. Interaksi guna mencapai integrasi hasil sintesis sangatlah berpengaruh pada kualitas hasil data dan jawaban permasalahan. Siswa dituntut untuk selalu menjadi kerja tim yang kompak dalam menyatukan seluruh aspek pendapat dan dapat mempresentasikan hasil dengan maksimal.
Dengan empat tahap yang sudah penulis paparkan, penulis berharap para pendidik bangsa peka terhadap kondisi siswanya yang dituntut untuk bergerak dinamis seiring perkembangan globalisasi dan ilmu pengetahuan.
Pendidikan berbasis interdisipliner wajib menjadi dasar kontrol pengembangan kreativitas siswa sekolah menengah atas yang sudah mampu untuk mengembangkan pola pikir, bersikap mandiri untuk mengatasi permasalahan, dan mampu untuk melaksanakan seluruh kriteria keberhasilan interdisipliner.
Kemampuan yang sudah terasah sejak awal akan membentuk pribadi yang tangguh untuk menghadapi persaingan dunia dan mampu menjadi pendobrak keterbelakangan mental Indonesia sebagai konsumerisme yang hanya menikmati hasil karya penemu dari sisi dunia lain. Indonesia membutuhkan pribadi yang selalu berusaha untuk menciptakan inovasi yang dapat diterima dan bermanfaat untuk segala aspek. Penulis berharap jika nantinya siswa di Indonesia memiliki kesadaran untuk mengembangkan dan merealisasikan karyanya yang dihasilkan dari pendidikan berbasis interdisipliner untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa Indonesia. (Zahwa Islami)