Apa yang anda pikirkan di benak anda ketika kata “sungai” disebutkan? Pasti ada dua alternatif keadaan sungai yang terpikirkan oleh anda. Pertama, sungai yang seperti di surga dimana alirannya deras tapi tidak menghanyutkan, airnya bening, begitu segar dilihat mata ataupun diminum sehingga bisa membasahi kerongkongan yang kering karena dahaga. Kedua, sungai yang buruk rupa akibat pencemaran dengan aliran deras yang menghanyutkan, berwarna kecoklatan dan pekat, baunya begitu busuk sampai membuat sakit kepala saat melintas didekatnya. Namun, yang anda pikirkan tersebut hanyalah keadaan sungai. Lantas apa itu sungai?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sungai adalah aliran air yang besar (biasanya buatan alam). Dari definisi tersebut jelas sudah bahwa sungai merupakan salah satu bentang alam yang memiliki aliran air dengan aliran besar. Akan tetapi, bagaimana jika yang disebut sungai tersebut memiliki lebar yang sempit, kedalaman dangkal, serta aliran yang sangat memperihatinkan? Masihkah tempat itu disebut sungai?
Jika anda tinggal di daerah UGM dan UNY atau sering melewati kampus ini, cobalah sesekali menengok Sungai Belik yang berada di perbatasan padukuhan Karangwuni, Karangbendo, dan Karanggayam. Mungkin beberapa dari anda beberapa kali melewati sungai ini tapi tak menyadarinya. Sungai tersebut berbatasan langsung dengan tembok rumah warga yang membuatnya tidak terlihat seperti sungai pada umumnya. Sungai Belik juga terbilang terlalu kecil untuk bisa disebut sungai, dengan aliran air berwarna kehitaman, dan saat musim kemarau seperti sekarang ini. Aliran air yang lirih, membuatnya lebih mirip pada saluran pembuangan limbah. Bahkan, jika dibandingkan dengan Selokan Mataram yang mengalir diatasnya, aliran Selokan Mataram jauh lebih lancar daripada Sungai Belik. Menurut salah satu warga yang tinggal di hilir sungai tersebut, aliran yang lirih ini diakibatkan oleh sistem buka tutup yang terdapat di hulu sungai tersebut.
Dengan pengamatan sekilas, Sungai Belik memang tidak bisa dikategorikan sebagai sungai yang bersih. Di daerah tertentu tampak sampah-sampah organik yang sengaja dibuang di sungai tersebut, dan ada juga sampah anorganiknya. Sampah-sampah tersebut memperparah pendangkalan sungai, selain karena proses sedimentasi yang dibawa dari hulunya sendiri. Akibat aliran air yang tidak sempurna membuat sampah tersebut menumpuk dan lama kelamaan membusuk serta ikut memberikan warna sungai menjadi semakin gelap. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sungai tersebut mengeluarkan bau yang tidak sedap. Tempat tersebut juga merupakan habitat yang cocok untuk jentik-jentik nyamuk tumbuh dan berkembang.
“Dulu pernah mbak ada anak yang kena Demam Berdarah sampai meninggal,” ungkap Bu Wahyuni salah satu warga hilir Sungai Belik. Memang bukan sesuatu yang mengagetkan untuk mengetahui hal tersebut dengan lingkungan yang seperti itu. Hal ini seharusnya menjadi koreksi bagi pemerintah untuk menangani kebersihan Sungai Belik. Namun, hingga kini belum ada aksi nyata yang dilakukan oleh pihak berwenang untuk menyelesaikan masalah ini. Bahkan, dengan adanya kasus Demam Berdarah dengan satu korban meninggal tersebut, warga belum pernah mendapatkan fogging di daerahnya.
Padukuhan Karangbendo yang merupakan hilir dari Sungai tersebut memiliki dataran yang lebih rendah daripada padukuhan yang lainnya. Hal ini membuat Padukuhan Karangbendo menjadi wilayah yang sering dilanda banjir. “Wah, sering mbak disini kalau kena banjir. Tapi ya cuma sebentar banjirnya, sekitar 2-4 jam. Nggak seperti di Jakarta itu yang sampai berhari-hari. Yang paling parah itu dulu pernah sampai tingginya sampai atas lutut ibu,” sebut Bu Sarjiyanti salah satu warga. Mereka juga menyebutkan bahwa mereka sering menderita gatal-gatal dan diare pasca banjir tersebut.
Lingkungan rawan banjir seperti ini, juga merupakan lingkungan yang rawan terkena penyakit Leptospirosis. Penyakit tersebut ditularkan melalui air kencing dari hewan pengerat, yang juga tidak jarang ditemui di daerah sungai. Disaat terjadi banjir, bakteri yang ada di kencing hewan pengerat tersebut masuk ke tubuh manusia melalu goresan luka yang ada di tubuhnya yang terendam air. Mayoritas kasus dari penyakit ini memang terasa seperti sakit meriang biasa, dengan gejala badan menggigil, nyeri otot, dan sakit kepala. Warga pun mungkin tidak menganggap penyakit tersebut serius. Namun, jika penanganannya tidak tepat, penyakit ini juga dapat mengancam jiwa.
Ketika warga ditanya mengenai aspek kesehatan yang didapat, mereka mengungkapkan biasanya ada cek kesehatan. Untuk bisa mendapatkan pengecekan, mereka harus pergi ke rumah Ibu Dukuh. Pada tahun ini, beberapa bulan lalu ada juga mahasiswa KKN dari Fakultas Kedokteran UGM yang melakukan pengecekan kesehatan untuk warga. Selain itu, ada juga poster yang ditempelkan di salah satu dinding tembok yang menyosialisasikan mengenai penyakit Leptospira dan wabah Virus Ebola.
Minggu lalu, mahasiswa KKN dari UGM gelombang 2 dibantu dengan mahasiswa Teknik Sipil beserta warga bahu-membahu membersihkan Sungai Belik tersebut. Warga Padukuhan Karangbendo berterimakasih dan berpesan kepada pihak yang berwenang untuk memperhatikan nasib mereka. Karena mereka merasa kurang mendapat keadilan dibandingkan warga yang tinggal di dataran yang lebih tinggi. (Siska Fitriyana W.W.)