“The great things in this world is not how much where we are, but in which direction we are moving”
-Anonym
Tahun kedua di universitas, saya berkesempatan menginjakan kaki di negeri paling utara di dunia, Norwegia. Cuaca yang buruk dengan suhu mendekati -20oC membuat saya sibuk di setiap pagi untuk membersihkan hidung yang tidak berhenti mengeluarkan darah. Status sebagai minoritas dengan identitas keyakinan yang saya balut diatas kepala saya (sebut saja hijab), tidak jarang membuat setiap pasang mata menoleh atau bahkan dengan terang-terangan menanyakan siapa dan dimana gerangan Tuhan saya berada. Pada forum diskusi di kelas, negeri yang saya cintai ini terkadang dibahas habis-habisan. Maklumlah, saya cuma berasal dari sebuah negeri yang sedang berkembang, bukan negeri yang sudah serba maju dengan teknologi serba canggih. Belum lagi setiap malam saya harus berjalan di tengah rintik salju yang dingin dan licin, serta kerinduan mendalam pada sesendok nasi yang jarang saya temukan.
Perjalanan kemudian saya lanjutkan ke beberapa negara di Asia. Entah hanya tinggal untuk beberapa minggu karena harus menghadiri pertemuan ilmiah, atau harus tinggal sampai berbulan-bulan untuk belajar. Dari pengalaman tersebut lah saya bertemu dengan banyak orang. Orang-orang yang kemudian menginspirasi saya untuk menentukan arah hidup kedepan. Entah seorang teman yang datang jauh sampai ke India hanya untuk memberi makan fakir miskin, sampai seorang guru yang mengorbankan harta dan hidupnya untuk murid-murid yang bahkan baru ia kenal. Saya belajar memahami artinya persaudaraan, belajar berfikir lebih terbuka, lebih bijaksana atau sekedar etika untuk selalu bersikap ramah dan mendengarkan setiap pendapat yang mereka lontarkan. Sampai kemudian saya berada pada suatu titik bahwa dunia ini terlalu luas dan beragam, menanti untuk disinggahi, dilihat dan didengar.
Dari perjalanan ini pula lah tidak sedikit air mata yang saya teteskan saat membayangkan keadaan negeri sendiri dan negeri orang lain. Atau keyakinan sendiri dengan keyakinan orang lain. Tapi toh, dari orang-orang yang saya temui disepanjang perjalanan lah saya akhirnya menyadari bahwa saya dilahirkan pada suatu negeri yang amat kaya, tentram dan dengan keindahan adat istiadat yang mereka (orang luar) kagumi. Dan toh, kesulitan untuk sekedar beribadah di negeri orang membuat saya selalu tidak dapat menahan air mata, saat mampu meletakan sujud di tanah mana pun yang saya pijak. Mencoba bertahan pada keyakinan, saat setiap pandangan yang menelisik curiga dan lontaran kata tajam harus saya telan pahit-pahit.
Untuk seluruh Gamada yang mungkin akan bergabung pada organisasi yang sudah membesarkan saya sampai seperti ini (Gama Cendekia). Jangan pernah habiskan waktumu hanya untuk melihat dan mendengar apa yang diceritakan orang lain tentang dunia di luar dunia yang selalu kamu temui. Pergilah, dan rasakan sendiri pengalaman luar biasa yang menantimu dibalik dinding kampus ini. Sampai mungkin perjalananmu membuatmu lebih bijaksana dalam memandang hidup atau cita-cita yang ingin kau raih. Bulatkan tekat dan tujuanmu untuk pergi, karena itu lah satu-satunya modal yang juga saya miliki, saya bahkan tidak pernah tahu kemana arah dan jalan akan membawa saya pergi. Saya tunggu kisah dan potret jejakmu di setiap tanah di negeri orang lain.
Tyas Ismi Trialfhianty
Perikanan 2009
Delegasi Indonesia untuk ISFiT (Internasional Festival in Trondheim) Norway
Beasiswa Exchange Student MIT (Malaysia-Indonesia-Thailand) DIKTI