oleh Ilham Satria R. P. Departemen Media 2016
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang memiliki jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia (berdasarkan data yang diambil dari CIA World Factbook pada tahun 2016) yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Berdasarkan hasil proyeksi penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2016, jumlah penduduk Indonesia adalah 258 juta orang. Untuk tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia yang dihitung antara tahun 2000 sampai dengan 2010 adalah sebesar 1,49 % per tahun. Hal ini menjadikan Indonesia berada pada urutan keempat jumlah penduduk terpadat di dunia di bawah China, India, dan Amerika Serikat (berdasarkan data yang diambil dari CIA World Factbook pada tahun 2016). Ini membuktikan bahwasanya Indonesia memiliki kekayaan sumber daya manusia yang sangat besar. Belum lagi ditambah dengan banyaknya intelektual-intelektual muda yang menjanjikan. Menurut CIA World Factbook, rata-rata usia penduduk Indonesia adalah 28,6 tahun pada tahun 2016. Ini membuktikan bahwa Indonesia memiliki lebih banyak penduduk yang berusia produktif. Usia produktif berkisar diantara 15-34 tahun. Sehingga bukan suatu hal yang mustahil jika Indonesia dapat menjadi salah satu pusat perekonomian terbesar di dunia apabila keahlian mereka dimaksimalkan di berbagai bidang yang tersedia.
Sayangnya hal ini belum dapat terealisasikan sepenuhnya. Masih banyak sekali sektor-sektor yang seharusnya mampu memberikan nilai tambah Indonesia masih belum mampu berbuat banyak. Sebagai contohnya, beberapa waktu lalu seperti yang diberitakan oleh liputan6.com, Indonesia mengimpor garam dari Australia. Selain karena belum mampu mencukupi total kebutuhan garam masyarakat sebesar 3,9 juta ton, juga karena kualitas garam lokal belum memenuhi standar produksi. Harga garam lokal pun dinilai lebih mahal dibandingkan garam impor. Mengapa Indonesia lebih memilih untuk mengimpor garam? Padahal jika dilihat dari segi kemaritiman Indonesia lebih mampu untuk memproduksi garam sendiri dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Mengingat Indonesia memiliki luas laut 3.544.743,9 km2 (UNCLOS 1982). Dunia pun sudah mengakui jika Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki sumber daya alam terbesar, ditambah dengan jumlah sumber daya manusia yang tidak kalah besar. Sungguh ironi jika melihat keadaan sekarang. Kasus impor garam merupakan satu dari sekian banyak kasus yang terjadi di Indonesia.
Apabila masalah ini tidak segera teratasi akan memberikan dampak negatif bagi generasi sekarang dan masa depan. Sistem perekonomian kita akan terpuruk karena jumlah produksi yang dihasilkan tidak sebanding dengan tingkat konsumsi masyarakat Indonesia. Sehingga masalah tentang hutang negara tidak akan pernah dapat terselesaikan. Selain itu, dalam pengolahan sektor-sektor tersebut dibutuhkan kerja sama dengan kaum intelektual negeri ini yang jumlahnya selalu bertambah tiap tahunnya. Dengan kurang diperhatikannya peran mereka untuk ikut campur tangan dalam pengolahan tersebut akan berakibat pada ketidakpedulian mereka terhadap kondisi negeri ini. Dengan kata lain, mereka akan lebih memilih bekerja untuk negara lain dan akhirnya hasil dari pekerjaan mereka diakui disana. Disini kesadaran dari berbagai belah pihak sungguh sangat diharapkan untuk membenahi keadaan ini.
Sebagai negara agraris, yaitu negara yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis karena terletak pada garis Khatulistiwa. Ditambah letak Indonesia yang berada diatas cincin api (Ring of Fire) yang menjadikan lahan-lahan disekitarnya subur sebagai dampak dari material hasil letusan gunung berapi. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Kementrian Pertanian pada tahun 2006, total luas daratan Indonesia adalah sebesar 192 juta hektar, terbagi menjadi 124 juta hektar sebagai kawasan budidaya dan 67,9 juta hektar sebagai kawasan lindung. Dari total kawasan budidaya, yang berpotensi menjadi areal pertanian seluas 101 juta hektar, meliputi lahan basah (25,6 juta hektar) , lahan kering tanaman semusim (25,3 juta hektar), dan lahan kering tanaman tahunan (50,9 juta hektar). Akan tetapi, areal yang telah digunakan sebagai lahan pertanian baru sebesar 47 juta hektar dari total 101 juta hektar, dengan menyisakan 54 juta hektar lahan yang berpotensi sebagai areal pertanian. Namun, hal tersebut sudah lebih dari cukup untuk menjadikan Indonesia sebagai negara dengan bio-diversity terbesar di dunia kedua setelah Brazil. Ini pun juga merupakan alasan Belanda mengapa memilih Indonesia untuk menjadi tanah jajahan mereka. Bagaimana tidak, berbagai bahan makanan pokok sampai berbagai jenis tumbuhan tropis lain cocok untuk dikembangbiakkan di negara ini. Mulai dari tanaman pangan, hortikultura, hingga perkebunan. Inilah gambaran kasar dari sektor pertanian di Indonesia. Sektor ini tidak hanya sebatas daratan saja, tetapi juga perairan. Sebagai negara maritim terbesar di dunia, Indonesia memiliki laut seluas 3.544.743,9 km2 (UNCLOS 1982) serta memiliki kekayaan biota laut yang membuat negara lain iri. Tidak hanya spesies umum saja, terdapat juga spesies khusus seperti ikan arwana merah yang hanya terdapat di Indonesia. Dengan kata lain spesies endemik. Begitu kayanya negeri ini. Akan tetapi tidak sebanding dengan usaha untuk memanfaatkannya sebagai suatu surplus untuk negara. Negara lebih memprioritaskan untuk melakukan alih fungsi lahan menjadi pemukiman penduduk, pertokoan, industri, dan jalan raya. Alih-alih untuk membangun kawasan perkotaan, hal ini berdampak pada menyempitnya lahan yang berpotensi sebagai areal pertanian dan membatasi mata pencaharian petani. Sehingga lebih sering tersiar kabar Indonesia melakukan impor bahan mentah dikarenakan kelangkaan di dalam negeri daripada melakukan ekspor bahan mentah ke negara lain. Walaupun pemerintah setidaknya telah berupaya untuk memajukan sektor ini, tetapi jika masyarakat tidak peduli apa yang dilakukan pemerintah hasilnya akan nihil. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2012, sektor pertanian menyerap 35,9% dari total penduduk Indonesia yang bekerja dan mampu menyumbangkan pendapatan kotor negara atau Gross National Product (GNP) sebesar 14,7%. Dari data tersebut menguatkan fakta bahwasanya sektor pertanian berperan cukup vital dalam menopang perekonomian negara. Agar berjalan lancar, dibutuhkan peran serta kaum intelektual khususnya yang masih berusia produktif untuk ikut serta dalam usaha memajukan sektor pertanian di seluruh daerah di Indonesia, dengan cara mengaplikasikan ilmunya pada bidang-bidang keilmuannya masing-masing, sehingga sektor pertanian di Indonesia akan menghasilkan varietas-varietas yang unggul. Pemerintah juga harus fokus dengan potensi-potensi yang ada. Selain untuk mendapatkan hasil yang optimal juga di kemudian hari Indonesia mampu mengatasi kelangkaan terutama bahan makanan di setiap daerah di Indonesia. Dengan begitu, masing-masing daerah dapat secara mandiri memproduksi bahan makanannya sendiri selain dikumpulkan untuk diekspor ke negara lain.
Lalu beralih ke sektor kedua yang perlu dibenahi, yaitu sektor pertambangan. Sebagai salah satu negara dengan sumber daya alam berupa tambang yang cukup besar, beberapa barang tambang menjadi komoditas utama untuk menambah pemasukan bagi negara. Sebagai contohnya adalah batubara. Bahan bakar fosil ini merupakan sumber energi yang berfungsi sebagai pembangkit listrik dan bahan bakar produksi baja dan semen. Pada tahun 2015, Indonesia menempati 5 besar produsen batubara terbesar di dunia setelah China, Amerika Serikat, India dan Australia dengan 241,1 Mt (satuan Mt setara dengan juta ton minyak) menurut BP Statistical Review of World Energy 2016. Untuk cadangan batubara global, Indonesia menempati peringkat 10 dengan sekitar 3,1 % dari total cadangan batubara global. Ini menunjukkan jika Indonesia mampu bersaing di kancah internasional dalam hal produksi batubara. Ini baru satu komoditas, belum komoditas lainnya. Dikarenakan potensi yang begitu besar di negara Indonesia, banyak negara lain yang menunjukkan minat untuk ikut serta dalam mengolah mineral-mineral tersebut. Hal ini menjadikan suatu ladang investasi bagi beberapa negara. Investor-investor asing ini bahkan memiliki kepemilikan saham yang cukup besar di beberapa jenis bahan tambang. Sehingga menyebabkan pemerintah menjadi kalang kabut untuk mengakuisisi kepemilikan seluruhnya. Salah satunya adalah PT Freeport Indonesia. Pada tahun 2014, tambang emas terbesar yang dikelola oleh Amerika Serikat di Indonesia ini bahkan membuat Indonesia menyetorkan dana sebesar 1,7 miliar dollar AS untuk mengakuisisi 20,64 % kepemilikan saham. Sungguh aneh mengingat emas yang dikelola oleh Freeport ini ada di wilayah Indonesia sepenuhnya, namun Indonesia sendiri dibuat kesulitan sampai-sampai memerlukan dana yang sangat besar untuk mengakuisisi saham tersebut. Selain itu, selama kontrak karya (KK) milik Freeport mulai berjalan dari tahun 1967 dalam mengelola tambang milik Indonesia, tidak banyak kontribusi bagi perekonomian Indonesia. Untungnya pada tahun 2017, PT Freeport Indonesia akhirnya menyetujui perubahan kontrak yang diberikan pemerintah Indonesia dari kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Sehingga Indonesia tidak perlu repot lagi dalam mengatur perusahaan tambang ini. Selama ini, Freeport telah melakukan beberapa hal yang dinilai tidak pantas oleh pemerintah Indonesia, sehingga memunculkan niat pemerintah untuk tidak melanjutkan kontraknya. Pertama, Freeport telah menghina perundangan yang ada karena tidak membayar royalti sebesar 3,75% sejak diberlakukan di tahun 2003. Kedua, Freeport gagal memenuhi kewajiban karena terlambat membangun smelter untuk mengolah dan memurnikan mineral. Dan yang terakhir, perusahaan ini berusaha agar tetap bertahan di Indonesia dengan berencana untuk melakukan investasi tambang bawah tanah senilai 15 miliar dollar AS.
Melihat apa yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia, bukan tidak mungkin apabila pemerintah tidak peduli terhadap tingkah laku perusahaan ini akan berdampak pada kepemilikan total saham oleh Freeport. Untungnya pemerintah langsung bertindak cepat dan tegas. Sudah seharusnya pemerintah mengetahui kelemahan negara ini dalam upaya mengolah sumber daya alam yang ada, sehingga membutuhkan bantuan dari pihak luar. Indonesia sebenarnya memiliki suatu potensi untuk mengolah sendiri barang tambangnya. Lagi-lagi dengan memanfaatkan kemampuan para intelektual muda agar sumber daya alam di Indonesia tidak dieksploitasi lagi oleh negara lain. Negara ini sebenarnya juga rentan terhadap fluktuasi harga yang terus menerus terjadi. Sehingga pemerintah sendiri sebaiknya memiliki suatu kebijakan yang efektif untuk menjaga harga komoditas agar setidaknya mampu sedikit stabil di kancah global.
Sebenarnya pemerintah cukup mengandalkan dengan apa yang dinamakan dengan bonus demografi di Indonesia. Bonus ini dapat dimanfaatkan untuk peningkatan pembangunan. Menurut perkiraan, era ini akan mencapai puncaknya pada tahun 2025-2030. Pemanfaatan ini dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan pada para penduduk berusia produktif untuk ikut membangun perekonomian negeri ini. Salah satunya dengan melalui sosialisasi tentang pemakaian website-website yang terkoneksi dengan suatu pekerjaan atau perusahaan yang membutuhkan pekerja tertentu. Dengan begitu, jumlah pengangguran di Indonesia yang pada tahun 2016 mencapai 7,02 juta orang akan menurun. Selain itu, mereka juga dapat diarahkan untuk bekerja pada sektor-sektor yang perlu dibenahi seperti sektor pertanian dan pertambangan. Mereka tidak mesti bekerja menjadi pekerja kasar, karena yang dibutuhkan dari mereka adalah pemikiran mereka. Tidak perlu inovasi yang muluk-muluk untuk membangun Indonesia. Yang diperlukan hanyalah tetap menjalankan sistem yang ada sebagaimana mestinya, tetapi tetap dengan peraturan yang berlaku.
Ditilik dari 2 sektor yang telah dibahas, Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar dalam memanfaatkannya sumber daya alam yang ada dengan memanfaatkaan bonus demografi yang dimiliki. Walaupun hal ini tidak dapat dilihat hasilnya secara langsung, namun jika dilakukan secara istiqomah akan menghasilkan dampak positif di kemudian hari. Dengan begitu, sektor pertanian yang sempat lesu akhir-akhir ini dapat bangkit kembali dan sektor pertambangan yang sulit dikelola dapat diatasi masalahnya di kemudiannya hari. Yang sebenarnya perlu dilakukan adalah campur tangan pemerintah terhadap potensi yang dimiliki penduduknya, terutama yang berusia produktif dengan cara memanfaatkan teknologi yang ada. Sehingga penduduk dapat hidup makmur dan sejahtera seperti yang tertuang dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2015, 24 April). Berapa Luas Sebenarnya Wilayah Laut Indonesia ?. Diakses pada 20 Januari, 2017, dari http://www.berjubel.net/berapa-luas-sebenarnya-wilayah-laut-indonesia/
Anonim. (2016, 5 September). Batubara. Diakses pada 21 Januari, 2017, dari http://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/batu-bara/item236
Anonim. (2016, 22 September). Usia Produktif Dominasi Penduduk Indonesia 2016. Diakses pada 20 Januari, 2017, dari http://databoks.katadata.co.id/datapublish/2016/09/24/bonus-demografi-2016-jumlah-penduduk-indonesia-258-juta-orang
Anonim. (2017, 17 Januari). Freeport Sepakat Akhiri Rezim Kontrak Karya. Diakses pada 20 Januari, 2017, dari http://economy.okezone.com/read/2017/01/17/320/1593344/freeport-sepakat-akhiri-rezim-kontrak-karya
Dickson. (2016, 23 November). 10 Negara dengan Jumlah Penduduk Terbanyak di Dunia. Diakses pada 20 Januari, 2017, dari http://ilmupengetahuanumum.com/10-negara-dengan-jumlah-penduduk-populasi-terbanyak-di-dunia/
Djumena, E. (2014, 12 Juni). Bila Sabar, Indonesia Bisa Ambil Alih 100 Persen Saham Freeport. Diakses pada 21 Januari, 2017, dari http://googleweblight.com/?lite_url=http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/06/12/1135094/Bila.Sabar.Indonesia.Bisa.Ambil.Alih.100.Persen.Saham.Freeport&ei=MogbxVM4&lc=id-ID&s=1&m=275&host=www.google.co.id&ts=1485051276&sig=AF9Nednm_a88iY23T6VXqUMpL1t_KL-Z2A
Melani, A. (2016, 26 September). Alasan Indonesia Impor Garam. Diakses pada 20 Januari, 2017, dari http://m.liputan6.com/bisnis/read/2611213/alasan-indonesia-impor-garam